Referat ke-3 (dr. Kharisma Perdani K)
PENDAHULUAN
Sindroma koroner akut
merupakan manifestasi dari penyakit jantung iskemi yang menjadi salah satu penyebab kematian terbanyak
di dunia. Tingkat kejadian penyakit arteri koroner ini lebih tinggi di negara
maju dibandingkan dengan negara berkembang. Di Amerika Serikat pada tahun 2009
terhitung sejumlah 1.1 juta orang menjalani perawatan, sedangkan jumlah ini
menjadi 2x lebih banyak di daerah Eropa. Pada negara berkembang jumlah pasien
yang menjalani perawatan untuk sindroma akut koroner menurun perlahan pada 2
dekade terakhir, namun menjadi meningkat seiring dengan ekonomi yang
berkembang.
Beberapa penelitian memperlihatkan 2%-8% pasien dengan
iskemi jantung akut seperti akut miokard infark, angina tidak stabil atau yang
biasa dikenal dengan sindroma koroner akut, datang ke Instalasi Gawat Darurat
(IGD) mengalami diagnosis non sindroma koroner akut sehingga pasien dipulangkan.
Kedokteran nuklir memiliki peran penting dalam mengevaluasi fungsi jantung secara non
invasif. Pemeriksaan dengan teknik kedokteran nuklir telah luas digunakan. Hal
ini disebabkan karena pemeriksaan ini dapat mendeteksi secara sensitif dan
dapat mendiagnosis adanya kelainan pada jantung serta patofisiologinya. Beberapa pengalaman dalam prosedur pemeriksaan
nuklir telah membuktikan tentang pentingnya alat non invasif untuk menilai
keadaan klinis pasien secara luas.
Pada pasien dengan
dugaan sindroma koroner akut, pencitraan dengan teknik kedokteran nuklir memiliki
peran dalam menentukan diagnostik, pasca angiografi dan PCI, serta strtifikasi
resiko sehingga dapat memberikan manajemen terapi selanjutnya secara optimal.
SINDROMA KORONER AKUT
Penyakit
iskemi jantung dapat bermanifestasi secara klinis sebagai angina stabil yang
kronis atau sindroma koroner akut. Sindrom
Koroner Akut (SKA) merupakan suatu masalah kardiovaskular yang utama karena menyebabkan
angka perawatan rumah sakit dan angka kematian yang tinggi.
Sebagian
besar SKA merupakan manifestasi akut dari plak ateroma pembuluh darah koroner
yang koyak atau pecah. Hal ini berkaitan dengan perubahan komposisi plak dan
penipisan tudung fibrus yang menutupi plak tersebut. Kejadian ini akan diikuti
oleh proses agregasi trombosit dan aktivasi jalur koagulasi. Terbentuklah
trombus yang kaya trombosit (white
thrombus). Trombus ini akan menyumbat lubang pembuluh darah koroner, baik
secara total maupun parsial; atau menjadi mikroemboli yang menyumbat pembuluh
koroner yang lebih distal. Selain itu terjadi pelepasan zat vasoaktif yang
menyebabkan vasokonstriksi sehingga memperberat gangguan aliran darah koroner.
Berkurangnya aliran darah koroner menyebabkan iskemia miokardium. Pasokan
oksigen yang berhenti selama kurang-lebih 20 menit dapat menyebabkan miokardium
mengalami nekrosis (infark miokard).
Infark
miokard tidak selalu disebabkan oleh oklusi total pembuluh darah koroner.
Obstruksi subtotal yang disertai vasokonstriksi yang dinamis dapat menyebabkan
terjadinya iskemia dan nekrosis jaringan otot jantung (miokard).
Akibat
dari iskemia, selain nekrosis, adalah gangguan kontraktilitas miokardium karena
proses hibernating dan stunning (setelah iskemia hilang), disritimia dan
remodeling ventrikel (perubahan bentuk, ukuran dan fungsi ventrikel).
Sebagian
pasien SKA tidak mengalami koyak plak seperti diterangkan di atas. Mereka
mengalami SKA karena obstruksi dinamis akibat spasme lokal dari arteri
koronaria epikardial (Angina Prinzmetal). Penyempitan arteri koronaria, tanpa
spasme maupun trombus, dapat diakibatkan oleh progresi plak atau restenosis
setelah Intervensi Koroner Perkutan (IKP). Beberapa faktor ekstrinsik, seperti
demam, anemia, tirotoksikosis, hipotensi, takikardia, dapat menjadi pencetus
terjadinya SKA pada pasien yang telah mempunyai plak aterosklerosis.
Klasifikasi
Berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan elektrokardiogram (EKG), dan
pemeriksaan marka jantung, Sindrom Koroner Akut dibagi menjadi:
1. Infark miokard dengan elevasi segmen ST (STEMI: ST segment elevation myocardial infarction)
2. Infark miokard dengan non elevasi segmen ST (NSTEMI: non ST segment elevation myocardial infarction)
3.
Angina Pektoris tidak stabil (UAP: unstable angina pectoris).
Infark miokard dengan elevasi segmen ST akut (STEMI)
merupakan indikator kejadian oklusi total pembuluh darah arteri koroner.
Keadaan ini memerlukan tindakan revaskularisasi untuk mengembalikan aliran
darah dan reperfusi miokard secepatnya; secara medikamentosa menggunakan agen
fibrinolitik atau secara mekanis, intervensi koroner perkutan primer. 5-11
Diagnosis STEMI ditegakkan jika terdapat keluhan
angina pektoris akut disertai elevasi segmen ST yang persisten di dua sadapan
yang bersebelahan. Inisiasi tatalaksana revaskularisasi tidak perlu menunggu hasil
peningkatan marka jantung.
Diagnosis NSTEMI dan angina pektoris tidak stabil
ditegakkan jika terdapat keluhan angina pektoris akut tanpa elevasi segmen ST
yang persisten di dua sadapan yang bersebelahan. Rekaman EKG saat presentasi
dapat berupa depresi segmen ST, inversi gelombang T, gelombang T yang datar,
gelombang T pseudo-normalization, atau bahkan tanpa perubahan .
Angina Pektoris tidak stabil dan NSTEMI dibedakan
berdasarkan kejadian infark miokard yang ditandai dengan peningkatan marka
jantung. Marka jantung yang lazim digunakan adalah Troponin I/T atau CK-MB.
Bila hasil pemeriksaan biokimia marka jantung terjadi peningkatan bermakna,
maka diagnosis menjadi Infark Miokard Akut Segmen ST Non Elevasi (Non
ST-Elevation Myocardial Infarction, NSTEMI). Pada Angina Pektoris tidak stabil
marka jantung tidak meningkat secara bermakna.
Pada sindroma koroner akut, nilai ambang untuk
peningkatan CK-MB yang abnormal adalah beberapa unit melebihi nilai normal atas
(upper limits of normal, ULN). Jika
pemeriksaan EKG awal tidak menunjukkan kelainan (normal) atau menunjukkan
kelainan yang nondiagnostik sementara angina masih berlangsung, maka
pemeriksaan diulang 10-20 menit kemudian. Jika ulangan EKG tetap menunjukkan
gambaran nondiagnostik sementara keluhan angina sangat sugestif SKA, maka
pasien dipantau selama 12-24 jam. EKG diulang tiap 6 jam dan setiap terjadi
angina berulang.
Diagnosis
Dengan
mengintegrasikan informasi yang diperoleh dari anamnesis, pemeriksaan fisik,
elektrokardiogram, tes marka jantung, dan foto polos dada, diagnosis awal
pasien dengan keluhan nyeri dada dapat dikelompokkan sebagai berikut: non
kardiak, Angina Stabil, Kemungkinan SKA, dan Definitif SKA.
Kemungkinan SKA adalah dengan gejala dan tanda:
1.
Nyeri dada yang sesuai dengan kriteria
angina ekuivalen atau tidak
seluruhnya tipikal pada saat evaluasi di ruang gawat-darurat.
2.
EKG normal atau nondiagnostik,
3.
Marka jantung norma
Definitif SKA adalah dengan gejala dan tanda:
1.
Angina tipikal.
2. EKG dengan gambaran elevasi yang
diagnostik untuk STEMI, depresi ST atau inversi
T yang diagnostik sebagai keadaan iskemia miokard, atau LBBB baru/persangkaan
baru.
3.
Peningkatan marka jantung
Keluhan
pasien dengan iskemia miokard dapat berupa nyeri dada yang tipikal (angina
tipikal) atau atipikal (angina ekuivalen). Keluhan angina tipikal berupa rasa
tertekan/berat daerah retrosternal, menjalar ke lengan kiri, leher, rahang,
area interskapular, bahu, atau epigastrium. Keluhan ini dapat berlangsung
intermiten/beberapa menit atau persisten (>20 menit). Keluhan angina tipikal
sering disertai keluhan penyerta seperti diaphoresis, mual/muntah, nyeri
abdominal, sesak napas, dan sinkop.
Presentasi
angina atipikal yang sering dijumpai antara lain nyeri di daerah penjalaran
angina tipikal, rasa gangguan pencernaan (indigestion), sesak napas yang tidak
dapat diterangkan, atau rasa lemah mendadak yang sulit diuraikan.
Keluhan
atipikal ini lebih sering dijumpai pada pasien usia muda (25-40 tahun) atau
usia lanjut (>75 tahun), wanita, penderita diabetes, gagal ginjal menahun,
atau demensia.
Walaupun
keluhan angina atipikal dapat muncul saat istirahat, keluhan ini patut
dicurigai sebagai angina ekuivalen jika berhubungan dengan aktivitas, terutama
pada pasien dengan riwayat penyakit jantung koroner (PJK).
Hilangnya
keluhan angina setelah terapi nitrat sublingual tidak prediktif terhadap
diagnosis SKA.
Diagnosis
SKA menjadi lebih kuat jika keluhan tersebut ditemukan pada pasien dengan
karakteristik sebagai berikut :
1. Pria
2.
Diketahui mempunyai penyakit
aterosklerosis non koroner (penyakit arteri
perifer / karotis)
3. Diketahui mempunyai PJK atas dasar
pernah mengalami infark miokard, bedah pintas
koroner
4. Mempunyai faktor risiko: umur,
hipertensi, merokok, dislipidemia, diabetes mellitus, riwayat PJK dini dalam
keluarga, yang diklasifikasi atas risiko tinggi, risiko sedang, risiko rendah
menurut NCEP (National Cholesterol
Education Program)
Pemeriksaan
fisik dilakukan untuk mengidentifikasi faktor pencetus iskemia, komplikasi
iskemia, penyakit penyerta dan menyingkirkan diagnosis banding.11
Regurgitasi
katup mitral akut, suara jantung Angina tipikal berupa rasa tertekan/berat
daerah retrosternal menjalar ke lengan kiri, leher, area interskapuler, bahu,
atau epigastrium; berlangsung intermiten atau persisten (>20 menit); sering
disertai diaphoresis, mual/muntah, nyeri abdominal, sesak napas, dan sinkop.
tiga (S3), ronkhi basah halus dan hipotensi hendaknya selalu diperiksa untuk
mengidentifikasi komplikasi iskemia. 11
Ditemukannya
tanda-tanda regurgitasi katup mitral akut, hipotensi, diaphoresis, ronkhi basah
halus atau edema paru meningkatkan kecurigaan terhadap SKA. Pericardial
friction rub karena perikarditis, kekuatan nadi tidak seimbang dan regurgitasi
katup aorta akibat diseksi aorta, pneumotoraks, nyeri pleuritik disertai suara
napas yang tidak seimbang perlu dipertimbangkan dalam memikirkan diagnosis banding
SKA.11,13
Semua
pasien dengan keluhan nyeri dada atau keluhan lain yang mengarah kepada iskemia
harus menjalani pemeriksaan EKG 12 sadapan sesegera mungkin sesampainya di
ruang gawat darurat. Sebagai tambahan, sadapan V3R dan V4R, serta V7-V9 direkam
pada semua pasien dengan perubahan EKG yang mengarah kepada iskemia dinding
inferior. Sementara itu, sadapan V7-V9 juga harus direkam pada semua pasien
angina yang mempunyai EKG awal nondiagnostik. Sedapat mungkin, rekaman EKG
dibuat dalam 10 menit sejak kedatangan pasien di ruang gawat darurat.
Pemeriksaan EKG sebaiknya diulang setiap keluhan angina timbul kembali.
Gambaran
EKG yang dijumpai pada pasien dengan keluhan angina cukup bervariasi, yaitu:
normal, nondiagnostik, LBBB (Left Bundle Branch Block) baru/ persangkaan baru,
elevasi segmen ST yang persisten (≥20 menit) maupun tidak persisten, atau
depresi segmen ST dengan atau tanpa inversi gelombang T.
Penilaian
ST elevasi dilakukan pada J point dan ditemukan pada 2 sadapan yang
bersebelahan. Nilai ambang elevasi segmen ST untuk diagnosis STEMI untuk pria
dan perempuan pada sebagian besar sadapan adalah 0,1 mV. Pada sadapan V1-V3
nilai ambang untuk diagnostik beragam, bergantung pada usia dan jenis kelamin.
Nilai ambang elevasi segmen ST di sadapan V1-3 pada pria usia ≥40 tahun adalah
≥0,2 mV.
Lokasi
infark berdasarkan sadapan EKG Sadapan dengan Deviasi Segmen ST Lokasi Iskemia
atau Infark V1-V4 Anterior V5-V6, I, aVL Lateral II, III, aVF Inferior V7-V9
Posterior V3R, V4R Ventrikel kanan Persangkaan adanya infark miokard menjadi
kuat jika gambaran EKG pasien dengan LBBB baru/persangkaan baru juga disertai
dengan elevasi segmen ST ≥1 mm pada sadapan dengan kompleks QRS positif dan
depresi segmen ST ≥1 mm di V1-V3.
Perubahan
segmen ST seperti ini disebut sebagai perubahan konkordan yang mempunyai
spesifisitas tinggi dan sensitivitas rendah untuk diagnosis iskemik akut.
Perubahan segmen ST yang diskordan pada sadapan dengan kompleks QRS negatif
mempunyai sensitivitas dan spesifisitas sangat rendah.
Adanya
keluhan angina akut dan pemeriksaan EKG tidak ditemukan elevasi segmen ST yang
persisten, diagnosisnya adalah infark miokard dengan non elevasi segmen ST
(NSTEMI) atau Angina Pektoris tidak stabil (APTS/ UAP). Depresi segmen ST yang
diagnostik untuk iskemia adalah sebesar ≥0,05 mV di sadapan V1-V3 dan ≥0,1 mV
di sadapan lainnya. Bersamaan dengan depresi segmen ST, dapat dijumpai juga
elevasi segmen ST yang tidak persisten (2 sadapan berdekatan. Inversi gelombang
T yang simetris ≥0,2 mV mempunyai spesifitas tinggi untuk untuk iskemia akut.
Semua perubahan EKG yang tidak sesuai dengan kriteria EKG yang diagnostik
dikategorikan sebagai perubahan EKG yang nondiagnostik.
Kreatinin
kinase-MB (CK-MB) atau troponin I/T merupakan marka nekrosis miosit jantung dan
menjadi marka untuk diagnosis infark miokard. Troponin I/T sebagai marka
nekrosis jantung mempunyai sensitivitas dan spesifisitas lebih tinggi dari
CK-MB.
Peningkatan
marka jantung hanya menunjukkan adanya nekrosis miosit, namun tidak dapat
dipakai untuk menentukan penyebab nekrosis miosit tersebut (penyebab
koroner/nonkoroner).
Troponin
I/T juga dapat meningkat oleh sebab kelainan kardiak nonkoroner seperti
takiaritmia, trauma kardiak, gagal jantung, hipertrofi ventrikel kiri,
miokarditis/perikarditis. Keadaan nonkardiak yang dapat meningkatkan kadar
troponin I/T adalah sepsis, luka bakar, gagal napas, penyakit neurologik akut,
emboli paru, hipertensi pulmoner, kemoterapi, dan insufisiensi ginjal.
Pada
dasarnya troponin T dan troponin I memberikan informasi yang seimbang terhadap
terjadinya nekrosis miosit, kecuali pada keadaan disfungsi ginjal. Pada keadaan
ini, troponin I mempunyai spesifisitas yang lebih tinggi dari troponin T. Dalam
keadaan nekrosis miokard, pemeriksaan CK-MB atau troponin I/T menunjukkan kadar
yang normal dalam 4-6 jam setelah awitan SKA, pemeriksaan hendaknya diulang
8-12 jam setelah awitan angina. Jika awitan SKA tidak dapat ditentukan dengan
jelas, maka pemeriksaan hendaknya diulang 6-12 jam setelah pemeriksaan pertama.
Kadar
CK-MB yang meningkat dapat dijumpai pada seseorang dengan kerusakan otot
skeletal (menyebabkan spesifisitas lebih rendah) dengan waktu paruh yang
singkat (48 jam). Mengingat waktu paruh yang singkat, CK-MB lebih terpilih
untuk mendiagnosis ekstensi infark (infark berulang) maupun infark
periprosedural.
Pemeriksaan
marka jantung sebaiknya dilakukan di laboratorium sentral. Pemeriksaan di ruang
darurat atau ruang rawat intensif jantung (point
of care testing) pada umumnya berupa tes kualitatif atau semikuantitatif,
lebih cepat (15-20 menit) tetapi kurang sensitif. Point of care testing sebagai alat diagnostik rutin SKA hanya
dianjurkan jika waktu pemeriksaan di laboratorium sentral memerlukan waktu
>1 jam. Jika marka jantung secara point
of care testing menunjukkan hasil
negatif maka pemeriksaan harus diulang di laboratorium sentral.
Kemungkinan
SKA dengan gambaran EKG nondiagnostik dan marka jantung normal perlu menjalani
observasi di ruang gawat-darurat. Definitif SKA dan angina tipikal dengan
gambaran EKG yang nondiagnostik sebaiknya dirawat di rumah sakit dalam ruang
intensive cardiovascular care (ICVCU/ICCU).
Data
laboratorium, di samping marka jantung, yang harus dilakukan di ruang gawat
darurat adalah tes darah rutin, gula darah sewaktu, status elektrolit,
koagulasi darah, tes fungsi ginjal, dan panel lipid. Pemeriksaan laboratorium
tidak boleh menunda terapi SKA.
Mengingat
bahwa pasien tidak diperkenankan meninggalkan ruang gawat darurat untuk tujuan
pemeriksaan, maka foto polos dada harus dilakukan di ruang gawat darurat dengan
alat portabel. Tujuan pemeriksaan adalah untuk membuat diagnosis banding,
identifikasi komplikasi dan penyakit penyerta.
Beberapa cara stratifikasi risiko telah dikembangkan dan
divalidasi untuk SKA.
Tujuan stratifikasi risiko adalah untuk menentukan strategi
penanganan selanjutnya (konservatif atau intervensi segera) bagi pasien.
Beberapa stratifikasi risiko yang digunakan adalah TIMI (Thrombolysis In Myocardial Infarction) dan GRACE
(Global Registry of Acute Coronary Events) sedangkan CRUSADE
(Can Rapid risk stratification of Unstable angina patients Suppress ADverse
outcomes with Early implementation of the ACC/AHA guidelines) digunakan
untuk menstratifikasi risiko terjadinya perdarahan . Stratifikasi perdarahan digunakan
untuk menentukan pilihan penggunaan antitrombotik.
PENCITRAAN KEDOKTERAN NUKLIR PADA
SINDROMA KORONER AKUT
Pasien dengan diagnosis nyeri dada akut
atau memiliki sindroma yang dicurigai sebagai iskemi miokard sering dirujuk ke
Instalasi Gawat Darurat (IGD). Di USA pasien dengan diagnosis tersebut memiliki
angka rata-rata setiap tahun 7 juta orang. Lebih dari 5 juta orang dirujuk ke
rumah sakit. Namun hanya sebagian kecil saja pasien yang terbukti benar mengalami
penyakit jantung iskemi .
Membedakan nyeri dada kardiak atau
non-kardiak penting dilakukan, namun menegakan diagnosis menjadi sulit saat
terdapat gejala klinis dengan hasil EKG dan enzim jantung tidak signifikan. Diagnosis
SKA (sindroma koroner akut) dibuat berdasarkan gejala karakteristik, kelainan
EKG, dan peningkatan konsentrasi enzim jantung. Penggunaan data ini saja dalam
evaluasi awal tidak selalu menghasilkan diagnosis yang akurat. Metode baru yang
cocok dalam mendiagnosis SKA sangat diperlukan.
Pencitraan sidik perfusi miokard dapat
memperlihatkan aliran darah koroner dan dapat menjadi alat optimal dalam
menilai pasien SKA yang awalnya dinilai sebagai resiko rendah berdasarkan hasil
EKG atau gejala yang timbul tidak
signifikan. Pada sindroma iskemik akut, hipoperfusi miokard terjadi sebelum
penurunan fungsi ventrikel kiri, perubahan EKG atau perubahan gejala klinis.
Hasil pencitraan sidik perfusi miokard saat istirahat yang tidak normal menunjukan
kurangnya perfusi pada miokard. Penangkapan pada radiofarmaka berhubungan
langsung dengan perubahan aliran darah pada perfusi miokard saat istirahat.
Informasi ini dapat menunjukan secara akurat adanya perfusi yang kurang pada
miokard. Sidik perfusi miokard dapat
mengidentifikasi pasien dengan SKA termasuk pasien iskemi dan infark.
Pencitraan nuklir dalam mendeteksi kelainan otot jantung
Pencitraan
nuklir yang pertama dalam mendeteksi infark miokard telah digunakan sejak lebih
dari 30 tahun yang lalu, dengan menggunakan berbagai isotop seperti rubidium
dan cesium.16
Pencitraan
TI-201 awalnya digunakan dalam memeriksa pasien dengan nyeri dada akut. Wacker
dkk dalam penelitianya memperlihatkan pencitraan TI-201 memiliki akurasi yang
tinggi pada pasien dengan diagnosis infark akut. Pencitraan dengan hasil tidak
normal didapat pada 100% pasien yang didiagnosis sebagai akut miokard infark
dan 58% pada pasien dengan angina yang tidak stabil.
Penggunaan
rutin dari TI-201 di IGD memiliki keterbatasan. Hasil pencitraan dibutuhkan
selesai dalam waktu singkat setelah penyuntikan radiofarmaka. TI-201 tidak
tersedia dalam waktu yang singkat. Keterbatasan ini diatasi dengan penggunaan
sidik perfusi miokard dengan Tc-99m. Pasien dapat yang disuntikan pada saat
nyeri dada dan pencitraan dapat dilakukan beberapa jam kemudian. Karakteristik
fisik Tc-99m lebih baik dalam pencitraan dengan kamera gama dan bisa digunakan
dengan EKG gated SPECT. Tc-99m tersedia untuk pencitraan akut.
Pencitraan Sidik Perfusi Miokard Akut
saat Istirahat (Acute Rest Myocardial
Perfusion Imaging/ARMPI)
Dasar
penggunaan secara klinis pencitraan Tc-99m sestamibi SPECT untuk dugaan SKA
berawal dari penelitian Bilodeau dkk.
Penelitian
kecil dengan jumlah pasien yng dirawat sejumlah 45 subjek memperlihatkan
sensitivitas 96% dan spesifisitas 79% dalam menemukan CAD (coronary artery disease) .CAD ditetapkan dengan kriteria ≥50%
diameter stenosis berdasarkan pemeriksaan angiografi yang dilakukan pada hari
ke 1 dan 9 pasien dirawat. Vareo
dkk memperlihatkan sensitivitas 100%, spesifisitas 92% dan nilai prediksi
negatif 100% untuk ARMPI.
Beberapa
penelitian pada single centre dan multi centre secara observasi maupun
acak pada pasien nyeri dada akut pada populasi yang banyak dan heterogen,
memperlihatkan sensitivitas yang tinggi (96%) dalam mendeteksi infark miokard
akut.
Gambaran
infark yang biasa terlewatkan adalah infark yang kecil dan secara klinis tidak
memiliki komplikasi. Gambaran hipoferfusi miokard harus melibatkan miokard sekurangnya
3% -5% ventrikel kiri.
Penelitian
memperlihatkan pasien tersebut memiliki kadar CK yang rendah atau stenosis pada angiografi sebesar >70%.
Kontos
dkk dalam penelitianya memperlihatkan pasien dengan sidik perfusi miokard pada
saat istirahat yang memiliki peningkatan level troponin, lebih dari setengah
pasien dengan pencitraan normal pada SPM tidak secara signifikan mengalami
peningkatan CK-MB.
ARMPI
memiliki sensitivitas yang sedang dalam mengdiagnosis infark miokard akut
dengan hipoperfusi regional yang juga timbul akibat jaringan parut, angina
tidak stabil dan penyakit kronik multivesel.
Pasien yang tidak memiliki gejala infark miokard akut belum dapat dikategorikan
sebagai pasien dengan resiko rendah yang bisa keluar dari IGD.
Hal
yang terpenting nilai prediksi negatif dari ARMPI
sangat tinggi yaitu sebesar 99%. Pasien dengan nilai negatif pada pencitraan
perfusi istirahat memiliki kemungkinan yang sangat rendah untuk SKA dan dapat
dengan aman keluar dari IGD.
Sidik Perfusi Miokard saat istirahat (ARMPI)
sebagai prediktor
ARMPI juga
memberikan informasi prognostik selain memiliki nilai diagnostik. ARMPI secara
akurat dapat mengukur daerah iskemik yang beresiko dan ukuran infark.Ukuran
infark telah diketahui sebagai prediktor penting bagi hasil pada pasien dengan
MI akut.
Demikian
pula ukuran kelainan perfusi miokard juga berkorelasi dengan prognosis jangka
panjang. Defek
perfusi miokard berhubungan dengan
prediktor lain seperti ejeksi fraksi ventrikel kiri, indeks gerakan dinding,
volume end sistolik dan level CK
Teknik
pencitraan kedokteran nuklir memiliki peran bagi pasien dengan dugaan SKA yang
memiliki gejala klinis iskemi atau CAD dan dapat memberikan informasi
prognostik.
Peran
prognostik dapat dilakukan pada pasien yang memperlihatkan gejala SKA misal
pada EKG dengan gambaran ST segmen depresi atau elevasi, pada pasien stabil
setelah tindakan angiografi dan PCI. Informasi ini dapat berguna dalam melihat
tingkat resiko yang diperlukan dalam pengelolaan terapi yang optimal.
Waktu penyuntikan radiofarmaka
Waktu
penyuntikan dalam hubungannya dengan gejala yang dirasakan pasien menjadi hal
yang penting dalam ARMPI. Sensitivitas pencitraan secara logis akan menurun pada
keadaan pasien tanpa nyeri. Beberapa penelitian yang mengikutsertakan pasien
dengan gejala dan tanpa gejala, memperlihatkan sensitivitas tidak akan menurun
selama pemeriksaan dilakukan dalam waktu 6 jam pasca penyuntikan.
Wacker
dkk memperlihatkan kejadian perfusi yang tidak normal sebesar 84% saat TI-201
disuntikan dalam waktu 6 jam dari gejala nyeri dada, namun menurun menjadi
19% pada penyuntikan 12 sampai 18 jam
setelah episode terakhir dari nyeri dada.
Kontos
et al., tidak menemukan perbedaan
sensitivitas antara pasien yang dan yang tidak mengalami gejala pada saat
penyuntikan sensitivitas antara pasien
yang dan
yang
tidak mengalami gejala pada saat injeksi.
Meskipun
waktu yang tepat injeksi adalah tidak dilaporkan, tidak ada pasien disuntik
lebih dari 6 jam setelah episode terakhir dari nyeri dada.
Penelitian
oleh Bilodeau dkk memperlihatkan pada pasien dengan angina tidak stabil yang
menjalani pencitraan kurang dari 4 jam
setelah nyeri hilang , ditemukan bahwa sensitivitas tertingginya adalah pada
saat gejala ada (96%).
Sensitivitas
menurun menjadi sekitar 65% seiring dengan menurunnya gejala.
Data-data
yang ada tidak memperlihatkan waktu yang tepat dalam penyuntikan. Sensitivitas
akan menurun seiring dengan waktu hilangnya gejala, sehingga waktu optimal yang
harus dipertahankan selama setidaknya 4-6 jam.
Sidik Pefusi Miokard
pada dugaan SKA di IGD
Banyak pasien yang memperlihatkan gejala SKA
di IGD, namun hasil EKG awal dan laboratorium darah tidak signifikan, sehingga
diperlukan pemeriksaan lain.
99-mTc
yang sebagai agen perfusi miokard dapat diberikan pada pasien yang berada di
IGD pada keadaan rest. Pasien yang disuntikan radiofarmaka, kemudian pencitraan
dilakukan 45 sampai 60 menit kemudian. Hasil pencitraan dengan daerah dengan penangkapan
radioaktivitas minimal merefleksikan miokard
yang mengalami infark dan iskemi.
Nilai negatif prediktif untuk menyingkirkan miokard
infark sangat tinggi pada seri observasi.
Pasien dengan hasil SPM yang positif, memiliki resiko tinggi pada kejadian
jantung selama perawatan sehingga sebaiknya di followup.
Sidik perfusi miokard rest SPECT dapat memberikan
informasi dalam membantu triase dalam menentukan apakah pasien perlu atau tidak
untuk dirawat di IGD. Penelitian tentang evaluasi nyeri dada di IGD (ERASE Chest Pain) yang dilakukan pada 2475
pasien dengan gejala dugaan SKA secara acak, pemeriksaan sidik perfusi miokard dilakukan di ruang perawatan IGD, dilaporkan
20% signifikan dapat mengurangi perawatan yang tidak perlu di rumah sakit. Data
pencitraan ini merupakan faktor yang kuat dalam memutuskan pemulangan pasien
dari IGD
Penelitian ini menunjukan bahwa
penggabungan pemeriksaan evaluasi sidik perfusi miokard SPECT di IGD dengan suspek SKA dengan tanpa ada perubahan
hasil EKG, dapat membantu triase dalam
menentukan keputusan. Sidik perfusi
istirahat dapat dipertimbangkan sebagai test yang tepat untuk indikasi ini
Pencitraan SPM
merupakan pencitraan yang yang paling sesuai untuk pasien dengan
kemungkinan sindroma koroner akut. Setelah triase awal pada gejala utama, EKG
dan riwayat, pencitraan SPECT-CT saat istrirahat bermanfaat untuk mengidentifikasikan
pasien dengan resiko tinggi (memiliki defek perfusi), pasien dengan keluhan dan
pasien yang memiliki resiko yang rendah (memiliki sidik normal), secara umum
pasien yang mungkin dipulangkan dengan resiko rendah untuk terjadi iskemik yang
berulang.
|
Pencitraan Iskemik memori (Imaging of Ischemic Memory) pada dugaan SKA
Pencitraan
di masa akan datang melakukan stratifikasi pada pasien dengan dugaan SKA,
dengan menggunakan pencitraan metabolism asam lemak. Setelah terjadinya iskemi
regional, metabolism asam lemak yang tidak normal dapat menetap lama setelah
perfusi kembali normal. Hal ini disebut sebagai pencitraan memori iskemi.
Pencitraan metabolism asam lemak dapat menegetahui iskemia yang baru terjadi.
Penangkapan radioaktif yang dilabel dengan asam lemak analog dengan BMIPP telah
dapat dicitra dengan SPECT 1 sampai 5 hari setelah timbul dugaan SKA pada
pasien.
Pada
penelitian awal SPECT, pencitraan BMIP memperlihatkan lebih sensitif
dibandingkan dengan pencitraan MPS saat istirahat, dalam menentukan munculnya
dan tempat stenosis koroner kulprit (culprit
coronary stenosis).
Data
pada beberapa pusat penelitian memperlihatkan pencitraan metabolism asam lemak
pada pasien yang memperlihatkan dugaan SKA di IGD dapat menambah nilai lebih
dalam memberikan informasi awal untuk memberikan assessment terhadap timbulnya
atau tidaknya SKA. Penelitian lebih lanjut dapat menentukan teknik pencitraan ini
sebagai arahan dalam memutuskan manajemen selanjutnya.
Pencitraan dengan menggunakan 18FDG-PET
PET dengan 18F-fluorodeoxyglucose (FDG)
merupakan pencitraan yang mampu mengidentifikasi
aktivitas metabolik fungsional glukosa. FDG setelah disuntikkan ditangkap oleh
sel-sel yang memanfaatkan glukosa untuk metabolisme. Aktivitas metabolik yang
meningkat lebih dari jaringan, menyebabkan penangkapan FDG yang meningkat.
Aplikasi FDG
PET untuk jantung adalah menilai viabilitas. Penggunaannya kini telah meningkat untuk menilai SKA karena memiliki
sensitivitas yang tinggi.
Prinsip pencitraan dengan PET pada SKA adalah
kemampuan untuk mendeteksi peradangan akut. Plak koroner aterosklerotik
ditandai dengan akumulasi makrofag. Penangkapan FDG akan meningkat pada daerah
dengan jumlah makrofag yang meningkat.
PET memiliki resolusi spasial terbatas 3-5mm membuat
pengukuran di arteri kanan koroner (RCA) dan daerah pertengahan ke pembuluh
distal kadang sulit dilakukan.
PET
dibatasi penggunaanya karena menggunakan radiasi pengion, membutuhkan CT atau
MRI untuk menilai lokalisasi, dan
terhalang oleh jantung dan gerak pernapasan
Studi menggunakan diet kaya asam lemak bebas sebelum pencitraan
menyebabkan penurunan penangkapan
miokard tanpa mempengaruhi jaringan lain dapat meningkatkan kualitas pencitraan
arteri koroner
PET, karena memiliki kemampuan untuk mendeteksi
aktivitas metabolik meningkat, dapat membantu
mengidentifikasi plak berisiko tinggi yang tidak obstruktif namun rentan ruptur
yang akhirnya menjadi SKA.
Penelitian prospektif 18FDG-PET pada ruptur plak
artherosklerotik pada pembuluh darah seperti pada arteri koroner dan karotid
dapat menjadi strategi pengurangan angka kejadian SKA dan stroke.
KESIMPULAN
Nilai prediksi negatif
pencitraan akut SPM istirahat (Acute Rest
Miokard Infark Perfusion Imaging) yang tinggi, merupakan alat yang
bermanfaat dalam memilah pasien dengan gejala nyeri dada akut. Pencitraan akut
SPM istirahat dapat secara efektif digunakan di rumah sakit dengan sarana yang
tepat. Penggabungan pencitraan akut SPM istirahat dan standar clinical pathway dapat memberikan
kontribusi dalam menurunkan jumlah pasien infark miokard yang terlewatkan,
mengurangi tindakan yang tidak diperlukan serta mengurangi biaya pengobatan.
Pencitraan BMIP memperlihatkan hasil lebih
sensitif dibandingkan dengan pencitraan MPS saat istirahat, dalam menentukan
munculnya dan tempat stenosis koroner kulprit (culprit coronary stenosis).
18FDG-PET berperan
dalam SKA dalam penilaian plak artherosklerotik pada pembuluh darah seperti
pada arteri koroner dan carotid,sehingga dapat menjadi strategi pengurangan
angka kejadian SKA dan stroke.
Kedokteran nuklir
klinis memiliki peran penting dalam
mengevaluasi fungsi jantung secara non invasif dan dapat mendeteksi secara
sensitif adanya kelainan pada sindroma koroner akut.
DAFTAR PUSTAKA
1. Williams
KA. Clinical application of myocardial perfusion imaging. In : Henkin RE,
editor. Nuclear medicine. 2nd ed. Philadelphia: Mosby Elsevier;
2006. p. 655-692.
2. J.Hector
Pope.,MD dkk, Missed Diagnoses of acute cardiac ischemia in the emergency
department, N Engl J Med 2000;342:1163-70
3. Mettler,
Fred A., 1945- Essentials of nuclear medicine imaging / Fred A. Mettler Jr.,
Milton J. Guiberteau. -- 6th ed, p.133-140
4. Braunwald’s
Heart Disease : A TEXTBOOK OF CARDIOVASCULAR MEDICINE, TENTH EDITION Single-volume ISBN: 978-1-4557-5134-1, 2015
p. 271-319
5. Anderson
J, et al. ACC/AHA 2007 guidelines for the management of patients with
UA/non–STEMI: a report of the ACC/AHA Task Force on Practice Guidelines
(Writing Committee to Revise the 2002 Guidelines for the Management of Patients
With UA/Non–STEMI). Circulation 2007;116:e148–e304.
6. Bodenheimer
MM, Wackers FJ, Schwartz RG, et al. Prognostic significance of a fixed thallium
defect one to six months after onset of acute myocardial infarction or unstable
angina. Multicenter Myocardial Ischemia Research Group. Am J Cardiol.
1994;74:1196 –1200.
7. Kroll
D, Farah W, McKendall GR, et al. Prognostic value of stress-gated Tc-99m
sestamibi SPECT after acute myocardial infarction. Am J Cardiol. 2001;87:381–386.
8. Miller
DD, Stratmann HG, Shaw L, et al. Dipyridamole technetium 99m sestamibi
myocardial tomography as an independent predictor of cardiac event-free
survival after acute ischemic events. J Nucl Cardiol. 1994;1:72–82.
9. Brown
KA. Prognostic value of thallium-201 myocardial perfusion imaging in patients
with unstable angina who respond to medical treatment. J Am Coll Cardiol.
1991;17:1053–1057.
10. Stratmann HG, Younis LT, Wittry MD, et al.
Exercise technetium-99m myocardial tomography for the risk stratification of men
with medically treated unstable angina pectoris. Am J Cardiol.
1995;76:236 –240.
11. Pedoman
Tatalaksana Sindrom koroner akut , Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia, 2015
12. ACC/AHA/ASNC
Guidelines for the clinical use of cardiac radionuclide imaging 2003
13. Marco Roffi et al, ESC Guidelines for the
management of acute coronary syndromes in patients presenting without
persistent ST-segment elevation, 2015
14. Kawai Y, Tsukamoto E, Nozaki Y, et al: Significance
of reduced uptake of iodinated fatty acid analogues for the evaluation of
patients with acute chest pain. J Am Coll Cardiol 38:1888, 2001.
15. Kontos MC, Dilsizian V, Weiland F, et al:
Iodofiltic acid I 123 (BMIPP) fatty acid imaging improves initial diagnosis in
emergency department patients with suspected acute coronary syndromes: A
multicenter trial. J Am Coll Cardiol 56:290, 2010.
16. Integrating
Cardiology for Nuclear Medicine Physicians, Assad Movahed, Gopinath Gnanasegaran, John R. Buscombe, Margaret
Hall. Springer – 2009
17. Ami E, Ernest V Gracia, Atlas of Nuclear
Cardiology, Imaging Companion to Braunwald's Heart Disease, 2012
18. Bilodeau L, Theroux P, Gregoire J,
Gagnon D, Arsenault A (1991) Technetium-99m sestamibi tomography in patients
with spontaneous chest pain: correlations with clinical, electrocardiographic
and angiographic findings. J Am Coll Cardiol 18(7):1684–1691.
19. Hilton TC, Thompson RC, Williams HJ, Saylors
R, Fulmer H, Stowers SA (1994) Technetium-99m sestamibi myocardial perfusion
imaging in the emergency room evaluation of chest pain. J Am Coll Cardiol
23(5):1016–1022.
20. Tatum JL, Jesse RL, Kontos MC et al.
(1997) Comprehensive strategy for the evaluation and triage of the chest pain
patient. Ann Emerg Med 29(1):116–125.
21. Kontos MC, Jesse RL, Schmidt KL, Ornato JP,
Tatum JL (1997) Value of acute rest sestamibi perfusion imaging for evaluation
of patients admitted to the emergency department with chest pain. J Am Coll
Cardiol 30(4):976–982
22. Heller GV, Stowers SA, Hendel RC et al. (1998)
Clinical value of acute rest technetium-99m tetrofosmin tomographic myocardial
perfusion imaging in patients with acute chest pain and nondiagnostic
electrocardiograms. J Am Coll Cardiol 31(5):1011–1017.
23. Kontos MC, Jesse RL, Anderson FP,
Schmidt KL, Ornato JP, Tatum JL (1999) Comparison of myocardial perfusion
imaging and cardiac troponin I in patients admitted to the emergency department
with chest pain. Circulation 99(16):2073–2078.
24. Verani MS, Jeroudi MO, Mahmarian JJ et al.
(1988) Quantification of myocardial infarction during coronary occlusion and
myocardial salvage after reperfusion using cardiac imaging with technetium-99m
hexakis 2-methoxyisobutyl isonitrile. J Am Coll Cardiol 12(6):1573–1581.
25. Lee KL, Woodlief LH, Topol EJ et al.
(1995) Predictors of 30-day mortality in the era of reperfusion for acute
myocardial infarction. Results from an international trial of 41,021 patientsGUSTO-I
Investigators. Circulation 91(6):1659–1668.
26. Weissman IA, Dickinson CZ, Dworkin
HJ, O’Neill WW, Juni JE (1996) Cost-effectiveness of myocardial perfusion
imaging with SPECT in the emergency department evaluation of patients with
unexplained chest pain. Radiology 199(2):353–357.
27. Radensky PW, Hilton TC, Fulmer H,
McLaughlin BA, Stowers SA (1997) Potential cost effectiveness of initial
myocardial perfusion imaging for assessment of emergency department patients
with chest pain. Am J Cardiol 79(5):595–599.
28. Stanley K. Zimmerman, Imaging Techniques in Acute
Coronary Syndromes: A Review,ISRN Carsiology, 2011
29. I. S. Rogers and A. Tawakol, “ Imaging of
coronary inflammation with FDG-PET: feasibility and clinical hurdles,” Current
Cardiology Reports, vol. 13, no. 2, pp. 138–144, 2011.
30. F. Joshi, D. Rosenbaum, S. Bordes, and J. H.
Rudd, “Vascular imaging with positron emission tomography,” Journal
ofmInternal Medicine, vol. 270, no. 2, pp. 99–109, 2011.
31. Jagat
Narula, MD, Molecular Imaging of Coronary Inflammation: Overcoming Hurdles One
at a Time, JACC 2010
No comments:
Post a Comment