Artikel populer

ARTIKEL UNGGULAN

UPTAKE TEST

Referat ke-1 (dr. Lisa H) Tiroid merupakan suatu kelenjar endokrin terbesar. Kelenjar tersebut memproduksi hormon tiroid yang selain berf...

Wednesday, November 29, 2017

PEMERIKSAAN KEDOKTERAN NUKLIR PADA SISTEM GASTROINTESTINAL DAN HEPATOBILIER

Referat ke-2 (dr Joko Wiyanto)

Sistem Gastrointestinal (GI) dan hepatobilier adalah sistem organ yang membentang dari mulut hingga anus dan bertanggung jawab untuk mengkonsumsi dan mencerna bahan makanan, menyerap nutrisi dan membuang sisa pencernaan.
Saat ini Ultrasonografi (USG), computed tomography (CT) dan magnetic resonance imaging (MRI) memiliki peranan besar dalam evaluasi sistem GI dan secara dramatis telah meningkatkan evaluasi penyakit yang berhubungan dengan sistem GI, terlebih dalam beberapa tahun terakhir terjadi percepatan perkembangan dari modalitas ini seperti CT multislice dengan resolusi tinggi dan kontras untuk MRI. 
Namun demikian, masih banyak indikasi pemeriksaan yang dapat dilakukan dengan menggunakan prosedur kedokteran nuklir untuk evaluasi sistem GI dan hepatobilier. Beberapa prosedur pemeriksaan kedokteran nuklir yang dapat digunakan diantaranya sidik esophageal, sidik lokasi pendarahan gastrointestinal, sidik penyakit gastrointestinal yang disebabkan oleh suatu inflamasi, sidik hati, sidik limpa dan lain sebagainya.
Meskipun saat ini pemeriksaan dengan menggunakan USG, CT dan MRI telah banyak dilakukan pada sistem gastrointestinal dan hepatobilier, namun demikian masih ada sejumlah pertanyaan yang belum dapat terjawab dimana kedokteran nuklir dapat memberikan jawaban yang dapat diandalkan.

ANATOMI DAN FISIOLOGI

SISTEM GASTROINTESTINAL DAN HEPATOBILIER

STRUKTUR PENCERNAAN

Mulut
Mulut adalah suatu rongga terbuka tempat masuknya makanan dan air, merupakan bagian awal dari sistem pencernaan, dimana didalam rongga mulut terdapat:
1.      Geligi; memiliki fungsi untuk memotong makanan, memutuskan makanan dan mengunyah makanan.
2.      Lidah; memiliki fungsi untuk mengaduk makanan, membentuk suara, sebagai alat pengecap, menelan dan merasakan makanan.
3.      Kelenjar ludah; memiliki fungsi menghasilkan air liur yang mengandung enzim, air dan lendir yang sangat berperan dalam memudahkan proses pencernaan makanan, menelan makanan dan melindungi selaput mulut.

 Faring

Merupakan organ yang menghubungkan rongga mulut dengan esofagus, didalam lengkung faring terdapat tonsil, bagian depan terdapat koana, bagian atas terdapat nasofaring dan bagian media disebut orofaring.

 Esofagus

Merupakan saluran yang menghubungkan dengan lambung, panjangnya ± 25 cm, mulai dari faring sampai lambung. Dari dalam ke luar terdiri atas lapisan selaput lendir (mukosa), lapisan submukosa, lapisan otot melingkar sirkuler dan lapisan otot memanjang longitudinal.

Lambung

Merupakan bagian dari sistem GI yang dapat mengembang terutama di daerah epigaster, lambung terdiri dari bagian atas fundus uteri yang berhubungan dengan esofagus melalui orifisium pilorik, terletak dibawah diapragma, didepan pankreas dan limpa serta menempel disebelah kiri fundus uteri. Lambung memiliki fungsi menampung makanan, menghancurkan, menghaluskan makanan dan menghasilkan enzim pencernaan

 Pankreas

Sekumpulan kelenjar yang strukturnya sangat mirip dengan kelenjar ludah panjangnya kira-kira 15 cm, lebar 5 cm mulai dari duodenum samapai ke limpa dan beratnya rata-rata 60-90gr. Terbentang pada vertebralumbalis I dan II di belakang lambung. Pankreas memiliki fungsi eksokrin, endokrin, sekresi eksternal dan sekresi internal.

Kantung Empedu

Sebuah kantung yang merupakan membran berotot, letaknya dalam sebuah lobus di sebelah permukaan bawah hati sampai pinggir depannya, panjangnya 812 cm berisi 60 cm³.  Fungsi kantung empedu sebagai persediaan getah empedu dan membuat getah empedu menjadi kental.

 Hati

Merupakan kelenjar terbesar di dalam tubuh, terletak dalam rongga perut sebelah kanan, tepatnya dibawah difragma. Berdasarkan fungsinya, hati juga termasuk sebagai alat sekresi. Hal ini dikarenakan hati membantu fungsi ginjal dengan cara memecah beberapa senyawa yang bersifat racun dan menghasilkan amonia, urea dan asam urat dengan memanfaatkan nitrogen dari asam amino.

Usus Halus

Usus halus adalah bagian dari saluran pencernaan yang terletak di antara lambung dan usus besar. Pada usus dua belas jari terdapat dua muara saluran yaitu dari pankreas dan kantung empedu, dengan bagian-bagian usus halus berupa usus dua belas jari (duodenum), usus kosong (jejenum) dan usus penyerapan (illeum).

 Usus Besar

Usus besar atau kolon dalam anatomi adalah bagian usus antara usus buntu dan rektum. Dengan fungsi menyerap air dari makanan, tempat tinggal bakteri koli dan tempat sementara feses.

 Usus Buntu

Usus buntu dalam bahasa latin disebut appendiks vermiformis yang memiliki fungsi sebagai organ imunologik dan secara aktif berperan dalam sekresi immunoglobulin.

Umbai Cacing

Umbai cacing adalah organ tambahan pada usus buntu, terbentuk dari caecum pada tahap embrio. Dalam orang dewasa, umbai cacing berukuran 10 cm tetapi bisa bervariasi 2 - 20 cm.

 Rektum

Organ ini berfungsi sebagai tempat penyimpanan sementara feses dimana mengembangnya dinding rektum terjadi karena penumpukan material didalam rektum yang akan memicu sistem saraf yang menimbulkan keinginan untuk melakukan defekasi.

Anus

Anus adalah bagian dari saluran pencernaan yang menghubungkan rektum dengan dunia luar. Terletak di dasar pelvis bagian posterior dari peritoneum dan dindingnya diperkuat oleh 3 otot sfingter yaitu; sfingter ani internus, sfingter levator ani dan sfingter ani eksternus.

PENCITRAAN KEDOKTERAN NUKLIR

PADA SISTEM GASTROINTESTINAL DAN HEPATOBILIER

Sidik Hati

Pemeriksaan dengan CT dan USG akan memberikan pencitraan anatomi yang lebih baik dibandingkan dengan pemeriksaan sidik hati atau limpa. Namun, masih ada beberapa indikasi untuk dilakukannya pemeriksaan sidik hati atau limpa dengan menggunakan Technetium-99m (99mTc)-koloid, seperti untuk konfirmasi atau evaluasi penyakit yang dicurigai berhubungan dengan hepatosellular, hepatomegali atau splenomegali dan konfirmasi spesifik mengenai lesi seperti fokal nodul pada hiperplasia hati.

Radiofarmaka

Hati dan limpa adalah organ yang memiliki fungsi berbeda, tetapi penggunaan radiofarmaka koloid untuk sidik hati atau limpa memiliki kesamaan dalam fungsi kedua organ tersebut yaitu berdasarkan fagositosis. Dimana radiofarmaka yang paling umum digunakan adalah 99mTc-sulfur koloid, dengan ukuran rata-rata partikel 0.3 - 1.0 μm. Penangkapan dan distribusi 99mTc-koloid dalam hati mencerminkan distribusi sel retikuloendotelial dan perfusi hati. Pada pasien normal, partikel 99mTc-koloid akan cepat diakumulasi secara fagositosit dari sistem retikuloendotelial baik oleh hati (Sel Kupffer) dan limpa, sehingga memungkinkan untuk dilakukan pencitraan pada kedua organ tersebut secara bersamaan. 99mTc-koloid akan dibersihkan dari aliran darah dengan waktu paruh 2-3 menit. Dimana dalam keadaan normal 80- 90% dari partikel 99mTc-koloid yang disuntikkan akan diserap oleh hati, 5-10% oleh limpa, dan dalam organ retikuloendotelial lain dalam persentase yang kecil, terutama dalam sumsum tulang.
Secara teori, ada beberapa korelasi antara ukuran partikel 99mTc-koloid dengan penangkapan pada organ; dimana partikel yang besar akan terdistribusi di limpa, partikel yang lebih kecil akan terdistribusi ke hati, dan partikel yang terkecil akan terdistribusi di sumsum tulang.

 Pencitraan Planar dan SPECT

Pencitraan dilakukan menggunakan radiofarmaka 99mTc-sulfur koloid dengan dosis sekitar 4-6 mCi (148-222 MBq). Akumulasi yang memadai dari 99mTc-sulfur koloid dalam hati membutuhkan waktu sekitar 5-10 menit pada pasien normal. Pada pasien dengan gangguan fungsi hati dan hipertensi portal, akumulasi optimal dari 99mTc-sulfur koloid dalam hati memerlukan waktu lebih lama, dimana pencitraan sebaiknya ditunggu 20 sampai 30 menit setelah penyuntikan.
 Pemeriksaan rutin sidik hati dan limpa dengan kamera gamma menggunakan kolimator low energy parallel hole dimana citra diperoleh setelah tercapai hitungan energi antara 500-1000 k count. Pemeriksaan SPECT dilakukan untuk memperoleh informasi tambahan yang digunakan untuk mengevaluasi suatu daerah yang sudah diketahui atau diduga sebagai fokal atau multifokal dari penyakit yang berada dalam hati dan limpa. Dalam hal ini, sensitivitas dan akurasi dari SPECT dalam lokalisasi lebih unggul dibandingkan dengan pencitraan planar.

Pemeriksaan Hati Normal

Dalam hati normal, 99mTc-sulfur koloid terdistribusi secara homogen pada seluruh organ yang terdiri dari lobus kanan yang besar dan lobus kiri yang kecil. Daerah porta hati sering diidentifikasi sebagai daerah dengan penurunan penangkapan radioaktivitas pada lapang pandang inferomedial lobus kanan; hal ini harus diwaspadai agar tidak keliru sebagai suatu lesi.
Pada sidik hati terkadang terdapat sebuah defek pada lapang pandang anterior lobus kanan, hal ini dapat terjadi karena atenuasi foton oleh jaringan payudara di atas organ hati. Evaluasi dari pemeriksaan hati dan limpa harus mencakup; ukuran, bentuk, posisi, keseragaman aktivitas dalam organ, adanya defek dan distribusi relatif koloid antara hati, limpa dan sumsum tulang.

Pemeriksaan Hati Abnormal

Pada pemeriksaan hati adanya area dengan aktivitas penangkapan radioaktivitas yang menurun digunakan hanya untuk menegaskan adanya fokal lesi pada anatomi hati dan bukan untuk diagnosis definitif seperti pemeriksaan secara histologi. Ukuran dan lokasi dari sebuah lesi sangat penting karena akan mempengaruhi deteksi dari kamera gamma, dimana dengan teknologi saat ini kamera gamma dapat mendeteksi lesi paling kecil dengan ukuran 8 mm dan lesi yang semakin dekat dengan permukaan organ semakin mudah untuk dapat dideteksi.
Pada pasien dengan beberapa defek pada hati, yang harus menjadi pertimbangan utama adalah suatu penyakit metastatik terutama bila disertai adanya hepatomegali atau dengan sebuah lesi utama yang telah diketahui sebelumnya. Defek yang luas pada hati dapat juga diakibatkan oleh terapi radiasi eksterna pada organ hati, namun defek seperti ini umumnya mudah dibedakan oleh karena adanya citra khas berupa tepi yang tajam sesuai dengan daerah yang mendapatkan terapi radiasi eksterna. Disamping lesi utama intrahepatik, defek tambahan di hati sering terjadi karena berdekatannya jaringan ekstraparenkim dengan jaringan patologis sekitarnya, termasuk akumulasi cairan subdiaphragmatik atau tumor ginjal, atau oleh lesi perifer dari lesi utama di hati.

 Sirosis Hati

Di awal fase, hepatitis yang disebabkan oleh alkohol atau infiltrasi lemak dapat terlihat normal ataupun berupa hepatomegali dengan penangkapan radioaktivitas yang kurang difus ataupun inhomogen. Seiring dengan perjalanan penyakit, pada parenkim hati akan menjadi jaringan parut dan hati menjadi lebih kecil daripada ukuran normal. Pada penyakit ini lobus kanan lebih sering terpengaruh dan memberikan pola khas dimana lobus kanan kecil dan lobus kiri relatif membesar. Hal ini mungkin terjadi karena vena porta memberikan lebih banyak aliran darah (dan alkohol) pada lobus kanan hati.
Infiltrasi lemak pada hati mungkin terjadi secara fokal atau menyebar, pada pemeriksaan CT fokal infiltrasi lemak akan terlihat berupa area dengan atenuasi yang rendah dimana citra ini dapat disalah artikan sebagai proses neoplastik. Jika dilakukan pemeriksaan dengan radiofarmaka 99mTc-koloid, maka akan terlihat daerah tersebut menunjukkan aktivitas retikuloendotelial yang normal.
Pada pasien dengan penyakit sirosis hati yang terdapat citra dengan pola berbintik-bintik atau dengan defek yang dominan besar, terutama pada mereka yang telah menunjukkan gejala dekompesasi klinis yang tidak dapat dijelaskan secara tiba-tiba, suatu hepatoma harus dipertimbangkan pada pasien ini. Adanya pergeseran distribusi penangkapan 99mTc-koloid pada limpa dan sumsum tulang merupakan citra menonjol lainnya dari sirosis hati. Pada stadium lanjut penyakit sirosis hati sering terlihat citra limpa yang membesar, dimana hal tersebut dapat terjadi karena adanya hipertensi portal.

Penyakit Metastasis

Pada penyakit hati dengan curiga adanya metastasis, pemeriksaan CT atau MRI merupakan pilihan pertama. Pemeriksaan sidik hati biasanya mendeteksi adanya metastasis secara kebetulan ketika pasien melakukan sidik hati untuk tujuan lain. Adanya citra defek multipel merupakan karakteristik yang paling sering terlihat pada penyakit metastasis hati dimana sidik hati memiliki tingkat sensitivitas sebesar 70-80% untuk semua tipe tumor primer.

Neoplasma Hati Primer

 Hepatoma

Hepatoma biasanya memperlihatkan citra defek soliter pada sidik hati dengan 99mTc-koloid  walaupun terkadang terlihat citra berupa suatu defek multifokal. Citra lesi yang terlihat biasanya berhubungan dengan penyakit hati yang sudah ada sebelumnya, sering pada sirosis yang disebabkan oleh alkohol atau setelah terjadi nekrosis.

Adenoma Sel Hati

Adenoma sel hati biasanya ditemui pada perempuan muda yang menggunakan pil KB. Meskipun penyakit ini biasanya asimtomatik, kadang-kadang terjadi pendarahan karena sel-sel kupffer tidak banyak terdapat pada lesi, maka citra adenoma dapat berupa defek fokal pada sidik hati dengan 99mTc-koloid.

Lesi Fokal Lainnya

 Abses

Abses sering hadir sebagai lesi soliter dengan defek fokal pada pemeriksaan sidik hati, terkadang dapat juga terlihat sebagai lesi multipel. Diagnosis sering ditegakkan berdasarkan dari riwayat penyakit yang diderita sebelumnya oleh pasien.

Budd-Chiari Sindrom (Trombosis Vena Hati)

Trombosis vena hati mungkin terjadi setelah invasi tumor sekunder atau sindrom hiperkoagulasi, dimana sering tidak dapat diketahui penyebab utama yang mendasarinya. Citra yang menyertai penyakit ini berupa hepatomegali, bendungan pada hati yang disertai dengan asites. Pada awal atau sebagian obstruksi vena hati, penangkapan radioaktivitas 99mTc-koloid pada hati terlihat berupa bintik-bintik yang menyebar. Sesuai dengan proses trombosis yang berlangsung, penangkapan radioaktivitas pada ke dua lobus terus menurun bersamaan dengan membesarnya lobus kauda dan menunjukkan aktivitas penangkapan radioaktivitas yang relatif meningkat.

 Pencitraan Blood Pool Hati
Suatu hemangioma kavernosa dapat diyakinkan pada pemeriksaan dengan menggunakan 99mTc-koloid, dimana terlihat sebuah defek dengan penangkapan radioaktivitas yang kurang meningkat setelah pemberian radiofarmaka untuk sidik blood pool hati (99mTc-sel darah merah).
Pemeriksaan blood pool secara dinamik akan memperlihatkan citra perfusi yang normal atau kurang pada lesi. Untuk meningkatkan kepekaan pemeriksaan menggunakan SPECT dapat dilakukan terutama bila letak posisi lesi berada didalam atau lesi dengan ukuran diameter kurang dari 5 cm (Gambar 3.4). SPECT memiliki sensitivitas hampir 100% untuk deteksi hemangioma dengan diameter lebih besar dari 1,5 cm; sensitivitas 50% atau kurang untuk lesi dengan diameter yang lebih kecil daripada 1.0 cm.

Sidik Limpa

Citra normal sidik limpa berupa penangkapan radioaktivitas yang homogen dengan aktivitas penangkapan radioaktivitas yang sama atau kurang dibandingkan dengan penangkapan radioaktivitas pada hati. Bentuk limpa mirip seperti telur dengan sedikit penipisan bila dilihat dari posisi anterior dengan panjang normal limpa bila dilihat pada lapang pandang posterior sekitar 10±1,5 cm dan tidak melebihi 13 cm.

Sidik Limpa Abnormal

Lesi Fokal

Defek Soliter atau multipel pada limpa tidaklah spesifik dan mungkin dapat disebabkan oleh sejumlah kelainan dimana perlu kehati-hatian dalam membedakannya, oleh karenanya diperlukan korelasi terkait mengenai sejarah klinis dari penderita. Kelainan paling umum yang terlihat sebagai defek pada limpa adalah kista, hematoma, abses, infark dan neoplasma.

Splenomegali

Walaupun pemeriksaan dengan USG relatif lebih murah dan tidak menggunakan radiasi pengion, sidik limpa dapat dilakukan untuk mengkonfirmasi kecurigaan klinis dari suatu splenomegali. Dengan ada atau tanpa ada perubahan penangkapan radioaktivitas pada limpa, adanya infiltrasi dari suatu penyakit pada limpa akan menyebabkan berbagai macam derajat splenomegali. Temuan ini sebagian besar tidak spesifik dan sebaikanya ditafsirkan sesuai dengan gejala klinis yang ada. Mungkin satu-satunya pengecualian untuk hasil ini adalah pada splenomegali yang besar, dimana sering disebabkan oleh suatu leukemia limfositik kronis. 

Trauma

Pemeriksaan menggunakan CT adalah metode pilihan untuk trauma limpa akut, peran dari sidik limpa biasanya sangat terbatas. Setelah terjadi trauma perut, jaringan limpa mungkin dapat berada di lokasi lain (splenosis), seperti paru-paru dan rongga peritoneal dimana bagian jaringan limpa tersebut tetap akan mengakumulasi 99mTc koloid.

 Limpa Yang Tidak Terlihat

Pada beberapa kasus tertentu (Tabel 3.1) citra limpa mungkin tidak terlihat walaupun tidak ada riwayat splenektomi sebelumnya. Kelainan bawaan asplenia mungkin terkait dengan sejumlah kelainan kardiovaskular, paru-paru dan anomali perut. Sedangkan pada anemia sel sabit, limpa mungkin tidak terlihat karena adanya atrofi terkait dengan terjadinya infark yang berulang (autosplenectomy) pada limpa.
Pemeriksaan Pendarahan Saluran Pencernaan
Radiofarmaka pilihan untuk pemeriksaan pendarahan sistem GI adalah 99mTc-red blood cell (RBC), terutama dalam kasus pendarahan intermiten atau lambat dengan tingkat sensitivitas lebih dari 90% untuk pendarahan yang akif, dosis 99mTc-RBC sekitar 15-20 mCi disuntikkan secara intravena melalui vena mediana cubiti. Karena 99mTc-RBC tetap berada di rongga intravaskular, maka pencitraan dapat dilakukan dalam periode 24 jam. Lokasi 99mTc-RBC dari suatu pendarahan akan terlihat sebagai lesi dengan aktivitas penangkapan radioaktivitas yang meningkat dan posisi atau bentuk akan berubah seiring dengan berjalannya waktu. Jika penangkapan radioaktivitas tetap berada di lokasi yang sama seiring berjalannya waktu, maka kelainan vaskular bersifat statis dan dapat diduga sebagai aneurisma atau angiodysplasia.
 Penyebab utama dari pendarahan saluran cerna bagian bawah pada orang dewasa adalah penyakit divertikular, angiodysplasia, neoplasma, dan penyakit inflamasi usus. Dengan pencitraan menggunakan tehnik kedokteran nuklir laju pendarahan di bawah 0,2 ml/menit masih dapat dideteksi dengan sensitivitas yang baik.
Hasil dikatakan positif bila pada pemeriksaan terlihat daerah dengan fokal aktivitas penangkapan radioaktivitas yang meningkat pada daerah sekitar rongga perut atau panggul disertai adanya pergerakan ke arah distal usus. Setelah pendarahan teridentifikasi, hasil pencitraan sebaiknya diurutkan untuk membantu dalam menentukan lokasi asal dari pendarahan.
Pemeriksaan dengan menggunakan 99mTc-RBC memiliki tingkat sensitivitas sekitar 90%. Selain memberikan bukti adanya pendarahan saluran cerna yang aktif serta lokasinya, pemeriksaan ini juga dapat digunakan sebagai panduan untuk arteriografi selektif pada perut dan untuk menilai hasil terapi intervensi.

Pencitraan Divertikulum Meckel

Divertikulum meckel terjadi pada sekitar 2% populasi dan didominasi oleh laki-laki. Meskipun kebanyakan lesi (96%) asimtomatik, komplikasi dapat terjadi pada pasien walau dalam persentase yang kecil. Gejala yang paling sering terlihat adalah adanya pendarahan melalui anus yang menyakitkan, terutama terjadi pada anak kecil.
Pada pemeriksaan dengan menggunakan 99mTc- pertechnetate pada pasien dengan dugaan adanya pendarahan dari suatu divertikulum meckel dapat diketahui didasarkan pada terlihatnya mukosa ektopik dimana hasil negatif umumnya dikarenakan divertikulum pada pasein tidak memiliki jaringan ektopik lambung.
Pemeriksaan divertikulum meckel dilakukan dengan cara menyuntikan 99mTc-pertechnetate dengan dosis aktivitas 8-12 mCi (296-444 MBq) untuk dewasa dan 200-300 μCi/kg (7,4-11.1 MBq/kg) untuk anak-anak. Pencitraan dilakukan secara berurutan dalam waktu 45-60 menit dengan lapang pandang anterior dari daerah pelvis abdomen. Hasil citra dikatakan positif bila terdapat daerah dengan fokal aktivitas penangkapan radioaktivitas yang meningkat di kuadran kanan bawah atau pertengahan perut, yang tidak terkait dengan aktivitas saluran kemih.
Hasil positif pada umumnya sudah dapat dilihat dalam 30 menit pertama dari pemeriksaan tetapi mungkin juga diperlukan waktu hingga 1 jam tergantung pada jumlah mukosa lambung. Hasil positif palsu dapat terjadi dikarenakan adanya aktivitas pada saluran kemih, berbagai lesi kecil diusus, penyakit inflamasi usus, lesi vaskular dan kista usus yang mengandung mukosa lambung. Pemeriksaan ini memiliki tingkat sensitivitas dan spesifisitas sekitar 90%.

3.5. Sidik Hepatobilier

Pemeriksaan dengan menggunakan 99mTc yang dilabel dengan agen hepatobilier dapat memberikan hasil pencitraan yang akurat dan nyaman pada pasien dengan penyakit empedu akut atau kronis. Indikasi umum sidik hepatobilier adalah untuk penyakit empedu akut, kolesistitis, identifikasi kebocoran empedu dan pada neonatus untuk membedakan antara atresia empedu dengan hepatitis.

 Radiofarmaka

Tersedia sejumlah analog dari 99mTc-iminodiacetic acid (IDA) yang digunakan untuk menghasilkan kualitas pencitraan yang sangat baik pada pemeriksaan sistem empedu. Pencitraan dengan menggunakan 99mTc-IDA memiliki sifat chelating yang kuat sehingga membentuk sebuah kompleks yang stabil.
Pasien yang akan menjalani pemeriksaan sidik hepatobilier diharuskan untuk puasa sekitar 8 jam, dimana pasien dengan penyakit yang akut disarankan untuk puasa minimal 2 jam sebelum pemeriksaan. Setelah penyuntikan 99mTc-IDA secara intravena dengan dosis 3-10 mCi (111-370 MBq), pencitraan dengan menggunakan kamera gamma dilakukan secara berurutan dengan lapang pandang anterior dan posisi pasien telentang. Pencitraan dilakukan dengan penangkapan radioaktivitas sebesar 500-1000 k count dengan interval setiap 5 menit untuk setengah jam pertama setelah penyuntikan dan kemudian dilakukan pengambilan citra yang sama dengan interval waktu setiap 10 menit secara terus menerus selama setengah jam berikutnya.
Normalnya kantung empedu dapat terlihat dalam setengah jam pertama pemeriksaan. Jika kantung empedu ini tidak dapat terlihat dalam waktu 1 jam pertama, maka diperlukan pengambilan citra setiap 1 jam selama kurang lebih 4 jam setelah penyuntikan radiofarmaka.

Pemeriksaan Normal

Pada pasien normal, pemeriksaan dengan menggunakan radiofarmaka 99mTc-IDA diperlukan waktu selama 5 menit agar dapat menghasilkan citra organ hati yang baik (Gambar 3.8). Jika karena suatu alasan tertentu pencitraan hati perlu ditambah, maka pemeriksaan dapat dilakukan pada menit ke 10 atau 15 setelah penyuntikan. Setelah 15 menit radiofarmaka yang ada pada hati akan dibersihkan sehingga pemeriksaan 15 menit setelah penyuntikan akan menghasilkan citra hati yang kurang jelas.
Kolesistitis Akut
Pencitraan hepatobilier telah terbukti memiliki nilai diagnosis yang besar dalam diagnosis kolesistitis akut, lebih dari 95% pasien dengan diagnosis kolesistitis akut memiliki obstruksi saluran karena suatu kista. Dalam kelompok pasien ini, radiofarmaka yang diekskresikan ke dalam empedu dari hati tidak dapat masuk ke dalam kantung empedu yang mengalami peradangan dikarenakan adanya obstruksi saluran yang disebabkan adanya kista. Hal ini menjadi teori dasar dari penggunaan 99mTc-hepatobilier dalam mendiagnosis suatu penyakit. Diagnosis dari kolesistitis akut pada pasien yang puasa dapat dipercaya bila terlihat citra penangkapan radioaktivitas di hati yang normal dan terjadinya pengosongan radiofarmaka dari hati ke empedu tanpa terlihat adanya citra kantung empedu selama 4 jam setelah penyuntikan. 
Dari sejumlah besar pemeriksaan, akurasi pemeriksaan cholescintigraphy untuk diagnosis kolesistitis akut sebesar 95%. Pada pemeriksaan sidik hepatobilier, terlihatnya penangkapan radioaktivitas pada kantung empedu kurang dari 4 jam setelah penyuntikan dapat menyingkirkan suatu diagnosis dari kolesistitis akut. Pada sekitar 20% pasien dengan kolesistitis akut dapat terlihat tanda Rim sign atau disebut juga pericholecystic hepatic activity sign, tanda ini mengacu pada sebuah citra dengan penangkapan radioaktivitas yang meningkat menyerupai pita yang melengkung di sepanjang tepi hati kanan bagian bawah di atas fossa kantung empedu.
Rim sign sangat penting karena pada 70-85% pasien dengan kolesistitis akut 40% memiliki kantung empedu yang berlubang atau mengalami perforasi. Cystic duct sign juga sering terlihat pada penyakit kolesistitis akut  dimana dapat terlihat sebagai aktivitas penangkapan radioaktivitas yang meningkat dengan fokus kecil di saluran empedu bagian proksimal sampai daerah sumbatan, biasanya terlihat di antara saluran hati dan fosa kantung empedu.


Kolesistitis Kronis
Meskipun citra kantung empedu yang lambat terlihat berkorelasi baik dengan penyakit kantung empedu kronis, namun hal itu dapat juga terjadi pada sejumlah kecil pasien dengan kolesistitis akut sehingga adanya penyakit acalculous akut dengan obstruksi parsial saluran cystic tidak dapat sepenuhnya disingkirkan. Pada pasien dengan citra kantung empedu yang terlihat 1 jam setelah penyuntikan radiofarmaka dan dicurigai sebagai penyakit akut maka perlu dilakukan konfirmasi dengan temuan klinis. Respon kontraksi kantung empedu setelah diberikan cholecystokinin (CCK) mungkin dapat memberikan petunjuk sebenarnya dari penyakit, dimana pada kantung empedu yang gagal mengalami kontraksi dengan rangsangan CCK dapat dicurigai sebagai penyakit kantung empedu akut. Namun demikian respon abnormal tidak secara definitif membedakan antara penyakit akut dan kronis.
Pencitraan dengan stimulasi CCK terhadap kantung empedu memungkinkan untuk penghitungan fraksi ejeksi kantung empedu (Gambar 3.12). Umumnya, fraksi ejeksi kurang dari 35% dianggap abnormal dengan nilai normal sekitar 75%; deviasi standar sekitar 20%. Waktu pengosongan normal kantung empedu adalah sekitar 6% per menit.

Obstruksi Saluran Empedu

Biasanya pada dugaan sumbatan pada saluran empedu akan dilakukan pemeriksaan dengan menggunakan USG, CT atau magnetic resonance cholangio pancreatography (MRCP) dimana memberikan hasil citra anatomi yang sangat rinci dan informasi diagnostik. Namun, masih penting untuk memahami citra sumbatan empedu pada sidik hepatobilier karena sejumlah besar pasien yang diperiksa untuk suatu kolesistitis akut dalam salurannya terdapat batu yang pada umumnya akan menyebabkan sumbatan dalam derajat yang berbeda. Pada sidik hepatobilier dengan citra hati yang baik dan kurang terlihatnya citra empedu merupakan khas untuk suatu obstruksi total pada saluran empedu.
Sumbatan mungkin dapat bersifat mekanis karena adanya batu, neoplasma atau fungsional seperti yang terlihat pada beberapa kasus ascending cholangitis. Intrahepatik kolestasis dapat disebabkan karena obstruksi kanalikuli oleh penggunaan obat-obatan tertentu atau adanya hepatitis yang dapat juga memberikan citra yang hampir sama dengan obstruksi total pada saluran empedu. Dengan adanya obstruksi parsial pada saluran empedu, maka derajat obstruksi akan dapat terlihat pada citra  dan kadang-kadang adanya citra defek akan menunjukkan lokasi dari sumbatan.  Hepatitis dan Atresia Biliari Pada Bayi
Tehnik pemeriksaan dengan menggunakan radiofarmaka telah digunakan untuk membedakan antara atresia biliari dengan hepatitis pada bayi. Intervensi dini dari pengobatan atresia biliari merupakan kunci sukses pengobatan dengan cara pembedahan, maka diagnosis yang tepat sangat penting. Pemeriksaan cholescintigraphy dapat memberikan salah satu petunjuk untuk diagnosa yang tepat karena diagnosis atresia biliari tidak dapat dipastikan hanya berdasarkan gejala klinis, laboratorium, atau biopsi.. Pencitraan dengan analog 99mTc-IDA telah digunakan untuk mendiagnosis atresia biliari dengan menunjukkan adanya sumbatan pada saluran ekstrahepatik empedu pada bayi dengan jaundice.
Pada bayi dengan penyakit hepatoseluler parah yang disebabkan oleh karena penyakit hepatitis maka dengan pemeriksaan cholescintigraphy saluran empedu akan tidak terlihat sehingga adanya atresia biliari akan sulit didiagnosis, dengan demikian perlu dilakukan pencitraan tambahan 24 jam setelah penyuntikan radiofarmaka.

Pemeriksaan Fungsi Gastroesophageal

Pemeriksaan sidik fungsi gastroesophageal akan memberikan rasa nyaman pada pasien karena merupakan metode non-invasif yang dapat langsung digunakan untuk menilai motilitas saluran GI. Beberapa parameter fisiologis dari saluran GI bagian atas yang dapat dinilai menggunakan sidik fungsi gastroesophageal diantaranya waktu transit esophagus, deteksi dan kuantisasi gastroesophageal, refluks enterogastrik dan waktu pengosongan lambung.

Waktu Transit Esofagus

Radiofarmaka 99mTc-sulfur koloid diberikan secara oral berupa cairan sehingga dapat digunakan untuk mengukur waktu transit pada esofagus. Pemeriksaan ini memiliki hasil citra anatomi dengan resolusi yang terbatas dan merupakan pemeriksaan kuantitatif. Jumlah Radiasi yang terserap pada pemeriksaan ini sekitar 20 mrad (0.2 mGy), relatif sangat kecil bila dibandingkan dengan pemeriksaan menggunakan barium (beberapa puluh mGy). Sebelum pemeriksaan dilakukan, pasien diharuskan untuk puasa minimal 6 jam sebelum pemeriksaan. Pencitraan dilakukan dengan posisi telentang dan kepala tegak, dimana pasien diinstruksikan untuk menelan 99mTc-sulfur koloid dengan dosis 300 μCi (11.1 MBq) dalam 10 ml air bersamaan dengan itu dimulai pengambilan citra. Pasien kemudian diharuskan melakukan menelan "kering" setiap 15 detik selama 5 menit.
Waktu transit esofagus terdiri dari kurva waktu interval antara puncak aktivitas pada 1/3 proksimal dan 1/3 distal dari esofagus. Pada orang normal, waktu transit esophagus dengan menggunakan air adalah 5-11 detik

 Reflux Gastroesophageal

Pada pasien dengan adanya gejala sakit maag atau regurgitasi, pemeriksaan sidik refluks gastroesophageal akan memberikan hasil yang sensitif dan sangat berguna dalam menentukan dan mengukur adanya refluks. Radiofarmaka terpilih yang digunakan adalah 99mTc-sulfur koloid yang diberikan secara oral dengan dosis 300 μCi (11.1 MBq) dalam 150 ml jus jeruk dengan kombinasi 150 ml asam klorida normal 0,1. Sebelumnya pasien harus puasa semalaman atau minimal 2 jam setelah makan makanan cair. Pasien dalam posisi duduk kemudian minum sebanyak 150 ml dan dilakukan pengambilan citra secara serial 30 detik selama 60 menit.
Pada bayi, pemeriksaan dilakukan dengan cara mencampur 99mTc-sulfur koloid dengan susu formula bayi. Pemeriksaan ini digunakan untuk melihat adanya refluks gastroesophageal dan aspirasi paru dari isi lambung. Pada adanya dugaan aspirasi, maka dilakukang pengambilan citra tambahan pada lapang pandang anterior setelah 2-4 jam setelah penyuntikan untuk melihat adanya aktivitas pada paru-paru.
Pada anak-anak, 99mTc-sulfur koloid dapat diberikan sebagai makanan cair pada waktu tidur dan pencitraan dilakukan ketika bangun tidur. Refluks esophagus dinyatakan sebagai persentase dari aktivitas radioaktif yang dihitung pada awal pemeriksaan sebelum terjadinya refluks dan saat adanya refluks yang masuk ke esofagus. Batas refluks gastroesophageal pada orang normal sekitar 3%  dengan tingkat sensitivitas sekitar 90%. Pemeriksaan ini dapat digunakan untuk diagnosis awal dan evaluasi hasil terapi.

 Waktu Pengosongan lambung

Sidik pengosongan lambung merupakan pemeriksaan baku emas untuk menilai waktu pengosongan lambung. Evaluasi waktu pengosongan lambung sangat rumit karena bahan makanan cair dan padat memiliki waktu pengosongan yang berbeda dan sejumlah faktor yang mengatur proses ini. Sebagai contoh adanya distensi pada lambung akan mempercepat waktu pengosongan lambung, sedangkan lemak akan memperlambat waktu pengosongan lambung. Secara umum, pemeriksaan dengan menggunakan makanan padat akan sangat relevan dengan pasien yang memiliki keluhan pada perut setelah makan.
Untuk pemeriksaan dengan menggunakan bahan makanan padat dapat menggunakan 99mTc-koloid dicampur dengan telur atau putih telur. Dimana metode yang banyak digunakan adalah campuran 0,5-1 mCi (18,5-37 MBq) 99mTc-sulfur koloid diaduk dengan telur yang digoreng disajikan dengan roti putih, beserta 30 gr selai strawberri dan 120 ml air. Pasien diharuskan untuk memakan makanan tersebut dalam waktu 10 menit bersamaan dengan air 120 ml. kemudian dilakukan pencitraan dengan posisi pasien duduk tegak dan dilakukan pencitraan tambahan setiap 60 menit hingga 4 jam setelah makan. Pasien tidak boleh mengkonsumsi makanan padat atau cair selama periode pemeriksaan 4 jam.
Pemeriksaan menggunakan dua detektor (anterior dan posterior) merupakan tehnik pemeriksaan yang paling akurat, dimana akan diperoleh nilai berdasarkan geometris lambung. Pada bayi pemeriksaan waktu pengosongan lambung dapat diberikan makanan cair berupa air susu ibu (ASI) atau susu formula yang dicampur dengan 99mTc-sulfur koloid dengan dosis 2.5-5 μCi (0,09-0,18 MBq) per ml cairan susu. Waktu setengah pengosongan lambung dengan menggunakan makanan padat sekitar 30-105 menit, sedangkan untuk makanan cair sekitar 12-65 menit. Pada bayi bervariasi antara 25-40 menit dengan menggunakan ASI dan 60-90 menit untuk susu formula.
Pemeriksaan waktu pengosongan lambung sering digunakan untuk mengkonfirmasi diagnosis gastroparesis sebagai penyebab mual dan muntah yang terjadi terus menerus serta untuk memantau keberhasilan dari terapi pada pasien dengan motilitas lambung yang terganggu.

KESIMPULAN



Meski tidak dapat memberikan hasil citra anatomi yang baik, pemeriksaan kedokteran nuklir pada sistem GI dan hepatobilier memainkan peran penting karena dapat memberikan hasil citra fungsional yang non invasif dan kuantifikasi dari fungsi pencernaan dimana hal ini tidak dapat dilakukan oleh metodologi pemeriksaan lainnya semisal USG, CT dan MRI.

DAFTAR PUSTAKA

 


1.        Biersack H. J, Cox P. H. Nuclear Medicine in Gastroenterology. Springer Science + Business Media, B.V. 1991 P.1-233
2.        Fisiologi Sistem Pencernaan Manusia. http://www.anneahira.com/fisiologi-sistem-pencernaan-manusia.htm
3.        Mettler FA, Guiberteau MJ. Essentials of Nuclear Medicine Imaging, 6th Ed. Saunders Elsevier 2012, Philadelphia. P. 237-70
4.        Thrall JH. Nuclear Medicine: The Requisites in Radiology 3rd Ed. Mosby 2006, Philadelphia. P. 350-87
5.        Dinant S, Wilmar de Graaf, Verwer B. J, et all. Risk Assessment of Posthepatectomy Liver Failure Using Hepatobiliary Scintigraphy and CT Volumetry. J Nucl Med 2007, Jnumed 48:685–692.
6.        Ziessman H. A, O’Malley J. P, Thrall J. H, The Requisites Nuclear Medicine 4rd Ed. Saunders Elsevier 2014, Philadelphia. P. 136-72, 293-326
7.        Cook G. J. R, Maisey M. N, Britton K. E, Chengazi V. Clinical Nuclear Medicine 4rd Ed. Edward Arnold (Publishers) Ltd 2006, London. P. 619-44
8.        Fogelman I, Clarke S. E. M, Cook G, Gnanasegaran G. An Atlas of Clinical Nuclear Medicine 3rd Ed. CRC Press Taylor & Francis Group 2014, P. 1245-96
9.        IAEA. Nuclear medicine Resources Manual. International Atomic Energy Agency 2006, Vienna. P. 267-98
10.    Howarth D. M. The Role of Nuclear Medicine in the Detection of Acute Gastrointestinal Bleeding. Elsevier Inc 2006. Semin Nucl Med; 36:133-146.
11.    Kan J. H, Funaki B, O’Rourke B.D, et all. Delayed 99mTc-labeled Erythrocyte Scintigraphy in Patients with Lower Gastrointestinal Tract Hemorrhage: Effect of Positive Findings on Clinical Management. AUR 2003. Acad Radiol 2003; 10:497–501.
12.    Mariani G, Ernest K.J. Pauwels, Abedallatif AlSharif, et all. Radionuclide Evaluation of the Lower Gastrointestinal Tract. J Nucl Med 2008, Jnumed 49:776–787.
13.    Elgazzar A. H. The Pathophysiologic Basis of Nuclear Medicine 2nd Ed. Springer-Verlag 2006, Berlin Heidelberg. P. 395-447
14.    Tulchinsky M, Colletti P. M, Allen T. W. Hepatobiliary Scintigraphy in Acute Cholecystitis. Elsevier 2012, Semin Nucl Med 42 P. 84-100
15.    Arnell H, Fischler B, Bergdahl S, et all. Hepatobiliary Scintigraphy During Cholestatic and Noncholestatic Periods in Patients with Progressive Familial Intrahepatic Cholestasis After Partial External Biliary Diversion. Elsevier 2011.
16.    Ziessman H. A. Hepatobiliary Scintigraphy in 2014. J Nucl Med 2014. Jnumed; 55:967–975.
17.    Ishii T, Nio M, Shimaoka S, Sano N, et all. Clinical Significance of 99mTc-DTPA-Galactosyl Human Serum Albumin Liver Scintigraphy in Follow-up Patients with Biliary Atresia. Elsevier Inc 2003. Journal of Pediatric Surgery, Vol 38, No 10; P. 1486-1490.
18.    Van der Pol R. J, Smits M. J, Venmans L. Diagnostic Accuracy of Tests in Pediatric Gastroesophageal Reflux Disease. Mosby Inc 2013. J Pediatr 2013; 162:983-7.
19.    Warrington J. C, Charron M. Pediatric Gastrointestinal Nuclear Medicine. Elsevier Inc 2007. Semin Nucl Med 37: 269-285.
20.    Bowling T. E, Cliff B, Wright J. W, et all. The Effects of Bolus and Continuous Nasogastric Feeding on Gastro-oesophageal Reflux and Gastric Emptying in Healthy Volunteers: A randomised Three-way Crossover Pilot Study. Elsevier Ltd and European Society for Clinical Nutrition and Metabolism 2008, Jclnu.
21.    Galli J, Volante M, Parrilla C, Rigante M. Oropharyngoesophageal Scintigraphy in The Diagnostic Algorithm of Laryngopharyngeal Reflux Disease: A Useful Exam? The American Academy of Otolaryngology–Head and Neck Surgery Foundation, Inc. 2005. Otolaryngol Head Neck Surg; 132: 717-21.
22.    Odunsi S. T, Camilleri M. Selected Interventions in Nuclear Medicine: Gastrointestinal Motor Functions. Elsevier 2009, Semin Nucl Med 39:186-194.
23.    Phillips L. K, Rayner C. K, Jones K. L, Horowitz M. Measurement of Gastric Emptying in Diabetes. Elsevier 2014.
24.    Abell T. L, Camilleri M, Donohoe K, et all. Consensus Recommendations for Gastric Emptying Scintigraphy: A Joint Report of the American Neurogastroenterology and Motility Society and the Society of Nuclear Medicine. Am. Coll. of Gastroenterology 2008, American Journal of Gastroenterology.
25.    Hirata E. S, Mesquita M. A, Filho G. A, Camargo G. E. Gastric Emptying Study by Scintigraphy in Patients with Chronic Renal Failure. Revista Brasileira de Anestesiologia 2012. Rev Bras Anestesiol; 62: 1: 39-47.
26.    Phillips L. K, Rayner C. K, Jones K. L, Horowitz M. Measurement of Gastric Emptying in Diabetes. Elsevier 2014. Journal of Diabetes and Its Complications (2014).

No comments:

Post a Comment