Sistem Gastrointestinal (GI) dan hepatobilier adalah sistem organ yang membentang dari mulut hingga anus dan bertanggung jawab untuk mengkonsumsi dan mencerna bahan
makanan, menyerap nutrisi dan membuang sisa pencernaan.
Saat ini Ultrasonografi (USG), computed tomography (CT) dan magnetic resonance imaging (MRI) memiliki
peranan besar dalam evaluasi sistem GI dan secara dramatis telah meningkatkan evaluasi penyakit
yang berhubungan dengan sistem GI, terlebih dalam beberapa tahun terakhir terjadi percepatan perkembangan dari
modalitas ini seperti CT multislice dengan
resolusi tinggi dan kontras untuk MRI.
Namun demikian, masih banyak indikasi pemeriksaan yang dapat dilakukan dengan
menggunakan prosedur kedokteran nuklir untuk evaluasi sistem GI
dan hepatobilier. Beberapa prosedur pemeriksaan kedokteran nuklir yang dapat
digunakan diantaranya sidik esophageal, sidik lokasi pendarahan
gastrointestinal, sidik penyakit gastrointestinal yang disebabkan oleh suatu
inflamasi, sidik hati, sidik limpa dan lain sebagainya.
Meskipun saat ini pemeriksaan dengan menggunakan USG, CT dan MRI telah
banyak dilakukan pada sistem gastrointestinal dan hepatobilier, namun demikian masih ada sejumlah pertanyaan
yang belum dapat terjawab dimana kedokteran nuklir dapat memberikan jawaban yang dapat diandalkan.
ANATOMI DAN FISIOLOGI
SISTEM GASTROINTESTINAL DAN HEPATOBILIER
STRUKTUR PENCERNAAN
Mulut
Mulut adalah suatu
rongga terbuka tempat masuknya makanan dan air, merupakan bagian awal dari
sistem pencernaan, dimana didalam rongga mulut terdapat:
1. Geligi;
memiliki fungsi untuk memotong makanan, memutuskan makanan dan mengunyah
makanan.
2. Lidah;
memiliki fungsi untuk mengaduk makanan, membentuk suara, sebagai alat pengecap,
menelan dan merasakan makanan.
3. Kelenjar
ludah; memiliki fungsi menghasilkan air liur yang mengandung enzim, air dan
lendir yang sangat berperan dalam memudahkan proses pencernaan makanan, menelan
makanan dan melindungi selaput mulut.
Faring
Merupakan organ yang menghubungkan
rongga mulut dengan esofagus, didalam lengkung faring terdapat tonsil, bagian
depan terdapat koana, bagian atas terdapat nasofaring dan bagian media disebut
orofaring.
Esofagus
Merupakan saluran yang menghubungkan
dengan lambung, panjangnya ± 25 cm, mulai dari faring sampai lambung. Dari
dalam ke luar terdiri atas lapisan selaput lendir (mukosa), lapisan submukosa,
lapisan otot melingkar sirkuler dan lapisan otot memanjang longitudinal.
Lambung
Merupakan bagian dari sistem GI yang
dapat mengembang terutama di daerah epigaster, lambung terdiri dari bagian atas
fundus uteri yang berhubungan dengan esofagus melalui orifisium pilorik,
terletak dibawah diapragma, didepan pankreas dan limpa serta menempel disebelah
kiri fundus uteri. Lambung memiliki fungsi menampung makanan, menghancurkan, menghaluskan
makanan dan menghasilkan enzim pencernaan
Pankreas
Sekumpulan
kelenjar yang strukturnya sangat mirip dengan kelenjar ludah panjangnya
kira-kira 15 cm, lebar 5 cm mulai dari duodenum samapai ke limpa dan beratnya
rata-rata 60-90gr. Terbentang pada vertebralumbalis I dan II di belakang
lambung. Pankreas memiliki fungsi eksokrin, endokrin, sekresi eksternal dan sekresi
internal.
Kantung Empedu
Sebuah kantung yang merupakan membran
berotot, letaknya dalam sebuah lobus di sebelah permukaan bawah hati sampai
pinggir depannya, panjangnya 812 cm berisi 60 cm³. Fungsi kantung empedu sebagai persediaan getah
empedu dan membuat getah empedu menjadi kental.
Hati
Merupakan kelenjar terbesar di dalam
tubuh, terletak dalam rongga perut sebelah kanan, tepatnya dibawah difragma. Berdasarkan
fungsinya, hati juga termasuk sebagai alat sekresi. Hal ini dikarenakan hati
membantu fungsi ginjal dengan cara memecah beberapa senyawa yang bersifat racun
dan menghasilkan amonia, urea dan asam urat dengan memanfaatkan nitrogen dari
asam amino.
Usus Halus
Usus halus adalah bagian dari saluran
pencernaan yang terletak di antara lambung dan usus besar. Pada usus dua belas
jari terdapat dua muara saluran yaitu dari pankreas dan kantung empedu, dengan
bagian-bagian usus halus berupa usus dua belas jari (duodenum), usus kosong (jejenum)
dan usus penyerapan (illeum).
Usus Besar
Usus besar atau kolon dalam anatomi
adalah bagian usus antara usus buntu dan rektum. Dengan fungsi menyerap air
dari makanan, tempat tinggal bakteri koli dan tempat sementara feses.
Usus Buntu
Usus buntu dalam bahasa latin disebut
appendiks vermiformis yang memiliki fungsi sebagai organ imunologik dan secara
aktif berperan dalam sekresi immunoglobulin.
Umbai Cacing
Umbai cacing adalah organ tambahan pada
usus buntu, terbentuk dari caecum pada tahap embrio. Dalam orang dewasa, umbai
cacing berukuran 10 cm tetapi bisa bervariasi 2 - 20 cm.
Rektum
Organ ini berfungsi sebagai tempat
penyimpanan sementara feses dimana mengembangnya dinding rektum terjadi karena
penumpukan material didalam rektum yang akan memicu sistem saraf yang
menimbulkan keinginan untuk melakukan defekasi.
Anus
Anus adalah bagian dari saluran pencernaan yang
menghubungkan rektum dengan dunia luar. Terletak di dasar pelvis bagian
posterior dari peritoneum dan dindingnya diperkuat oleh 3 otot sfingter yaitu;
sfingter ani internus, sfingter levator ani dan sfingter ani eksternus.
PENCITRAAN KEDOKTERAN NUKLIR
PADA SISTEM GASTROINTESTINAL DAN HEPATOBILIER
Sidik Hati
Pemeriksaan dengan CT dan USG akan
memberikan pencitraan anatomi yang lebih baik dibandingkan dengan pemeriksaan sidik
hati atau limpa. Namun, masih ada beberapa indikasi untuk dilakukannya
pemeriksaan sidik hati atau limpa dengan menggunakan Technetium-99m (99mTc)-koloid,
seperti untuk konfirmasi atau evaluasi penyakit yang dicurigai berhubungan
dengan hepatosellular, hepatomegali atau splenomegali dan konfirmasi spesifik
mengenai lesi seperti fokal nodul pada hiperplasia hati.
Radiofarmaka
Hati
dan limpa adalah organ yang memiliki fungsi berbeda, tetapi penggunaan
radiofarmaka koloid untuk sidik hati atau limpa memiliki kesamaan dalam fungsi
kedua organ tersebut yaitu berdasarkan fagositosis. Dimana radiofarmaka yang
paling umum digunakan adalah 99mTc-sulfur koloid, dengan ukuran
rata-rata partikel 0.3 - 1.0 μm. Penangkapan dan distribusi 99mTc-koloid
dalam hati mencerminkan distribusi sel retikuloendotelial dan perfusi hati. Pada
pasien normal, partikel 99mTc-koloid akan cepat diakumulasi secara
fagositosit dari sistem retikuloendotelial baik oleh hati (Sel Kupffer) dan
limpa, sehingga memungkinkan untuk dilakukan pencitraan pada kedua organ tersebut
secara bersamaan. 99mTc-koloid akan dibersihkan dari aliran darah dengan
waktu paruh 2-3 menit. Dimana dalam keadaan normal 80- 90% dari partikel 99mTc-koloid
yang disuntikkan akan diserap oleh hati, 5-10% oleh limpa, dan dalam organ retikuloendotelial
lain dalam persentase yang kecil, terutama dalam sumsum tulang.
Secara
teori, ada beberapa korelasi antara ukuran partikel 99mTc-koloid dengan
penangkapan pada organ; dimana partikel yang besar akan terdistribusi di limpa,
partikel yang lebih kecil akan terdistribusi ke hati, dan partikel yang terkecil
akan terdistribusi di sumsum tulang.
Pencitraan Planar dan SPECT
Pencitraan
dilakukan menggunakan radiofarmaka 99mTc-sulfur koloid dengan dosis
sekitar 4-6 mCi (148-222 MBq). Akumulasi yang memadai dari 99mTc-sulfur
koloid dalam hati membutuhkan waktu sekitar 5-10 menit pada pasien normal. Pada
pasien dengan gangguan fungsi hati dan hipertensi portal, akumulasi optimal
dari 99mTc-sulfur koloid dalam hati memerlukan waktu lebih lama,
dimana pencitraan sebaiknya ditunggu 20 sampai 30 menit setelah penyuntikan.
Pemeriksaan rutin sidik hati dan limpa dengan kamera
gamma menggunakan kolimator low energy
parallel hole dimana citra diperoleh setelah tercapai hitungan energi
antara 500-1000 k count. Pemeriksaan SPECT
dilakukan untuk memperoleh informasi tambahan yang digunakan untuk mengevaluasi
suatu daerah yang sudah diketahui atau diduga sebagai fokal atau multifokal dari
penyakit yang berada dalam hati dan limpa. Dalam hal ini, sensitivitas dan
akurasi dari SPECT dalam lokalisasi lebih unggul dibandingkan dengan pencitraan
planar.
Pemeriksaan Hati Normal
Dalam
hati normal, 99mTc-sulfur koloid terdistribusi secara homogen pada
seluruh organ yang terdiri dari lobus kanan yang besar dan lobus kiri yang kecil. Daerah porta hati sering diidentifikasi sebagai daerah dengan
penurunan penangkapan radioaktivitas pada lapang pandang inferomedial lobus
kanan; hal ini harus diwaspadai agar tidak keliru sebagai suatu lesi.
Pada
sidik hati terkadang terdapat sebuah defek pada lapang pandang anterior lobus
kanan, hal ini dapat terjadi karena atenuasi foton oleh jaringan payudara di
atas organ hati. Evaluasi dari pemeriksaan hati dan limpa harus mencakup; ukuran,
bentuk, posisi, keseragaman aktivitas dalam organ, adanya defek dan distribusi
relatif koloid antara hati, limpa dan sumsum tulang.
Pemeriksaan Hati Abnormal
Pada
pemeriksaan hati adanya area dengan aktivitas penangkapan radioaktivitas yang
menurun digunakan hanya untuk menegaskan adanya fokal lesi pada anatomi hati dan
bukan untuk diagnosis definitif seperti pemeriksaan secara histologi. Ukuran dan
lokasi dari sebuah lesi sangat penting karena akan mempengaruhi deteksi dari
kamera gamma, dimana dengan teknologi saat ini kamera gamma dapat mendeteksi lesi
paling kecil dengan ukuran 8 mm dan lesi yang semakin dekat dengan permukaan
organ semakin mudah untuk dapat dideteksi.
Pada pasien dengan beberapa defek pada hati,
yang harus menjadi pertimbangan utama adalah suatu penyakit metastatik terutama
bila disertai adanya hepatomegali atau dengan sebuah lesi utama yang telah
diketahui sebelumnya. Defek yang luas pada hati dapat juga diakibatkan oleh terapi
radiasi eksterna pada organ hati, namun defek seperti ini umumnya mudah dibedakan
oleh karena adanya citra khas berupa tepi yang tajam sesuai dengan daerah yang
mendapatkan terapi radiasi eksterna. Disamping lesi utama intrahepatik, defek
tambahan di hati sering terjadi karena berdekatannya jaringan ekstraparenkim
dengan jaringan patologis sekitarnya, termasuk akumulasi cairan subdiaphragmatik
atau tumor ginjal, atau oleh lesi perifer dari lesi utama di hati.
Sirosis Hati
Di
awal fase, hepatitis yang disebabkan oleh alkohol atau infiltrasi lemak dapat
terlihat normal ataupun berupa hepatomegali dengan penangkapan radioaktivitas
yang kurang difus ataupun inhomogen. Seiring dengan perjalanan penyakit, pada parenkim
hati akan menjadi jaringan parut dan hati menjadi lebih kecil daripada ukuran normal.
Pada penyakit ini lobus kanan lebih sering terpengaruh dan memberikan pola khas
dimana lobus kanan kecil dan lobus kiri relatif membesar. Hal ini mungkin
terjadi karena vena porta memberikan lebih banyak aliran darah (dan alkohol)
pada lobus kanan hati.
Infiltrasi
lemak pada hati mungkin terjadi secara fokal atau menyebar, pada pemeriksaan CT
fokal infiltrasi lemak akan terlihat berupa area dengan atenuasi yang rendah
dimana citra ini dapat disalah artikan sebagai proses neoplastik. Jika
dilakukan pemeriksaan dengan radiofarmaka 99mTc-koloid, maka akan terlihat
daerah tersebut menunjukkan aktivitas retikuloendotelial yang normal.
Pada
pasien dengan penyakit sirosis hati yang terdapat citra dengan pola berbintik-bintik
atau dengan defek yang dominan besar, terutama pada mereka yang telah
menunjukkan gejala dekompesasi klinis yang tidak dapat dijelaskan secara
tiba-tiba, suatu hepatoma harus dipertimbangkan pada pasien ini. Adanya pergeseran
distribusi penangkapan 99mTc-koloid pada limpa dan sumsum tulang merupakan
citra menonjol lainnya dari sirosis hati. Pada stadium lanjut penyakit sirosis
hati sering terlihat citra limpa yang membesar, dimana hal tersebut dapat
terjadi karena adanya hipertensi portal.
Penyakit Metastasis
Pada
penyakit hati dengan curiga adanya metastasis, pemeriksaan CT atau MRI merupakan
pilihan pertama. Pemeriksaan sidik hati biasanya mendeteksi adanya metastasis
secara kebetulan ketika pasien melakukan sidik hati untuk tujuan lain. Adanya citra
defek multipel merupakan karakteristik yang paling sering terlihat pada
penyakit metastasis hati dimana sidik hati memiliki tingkat sensitivitas
sebesar 70-80% untuk semua tipe tumor primer.
Neoplasma Hati Primer
Hepatoma
Hepatoma
biasanya memperlihatkan citra defek soliter pada sidik hati dengan 99mTc-koloid walaupun terkadang terlihat citra berupa suatu defek multifokal. Citra
lesi yang terlihat biasanya berhubungan dengan penyakit hati yang sudah ada
sebelumnya, sering pada sirosis yang disebabkan oleh alkohol atau setelah
terjadi nekrosis.
Adenoma Sel Hati
Adenoma
sel hati biasanya ditemui pada perempuan muda yang menggunakan pil KB. Meskipun
penyakit ini biasanya asimtomatik, kadang-kadang terjadi pendarahan karena
sel-sel kupffer tidak banyak terdapat pada lesi, maka citra adenoma dapat
berupa defek fokal pada sidik hati dengan 99mTc-koloid.
Lesi Fokal Lainnya
Abses
Abses
sering hadir sebagai lesi soliter dengan defek fokal pada pemeriksaan sidik hati,
terkadang dapat juga terlihat sebagai lesi multipel. Diagnosis sering
ditegakkan berdasarkan dari riwayat penyakit yang diderita sebelumnya oleh
pasien.
Budd-Chiari Sindrom (Trombosis Vena Hati)
Trombosis
vena hati mungkin terjadi setelah invasi tumor sekunder atau sindrom
hiperkoagulasi, dimana sering tidak dapat diketahui penyebab utama yang
mendasarinya. Citra yang menyertai penyakit ini berupa hepatomegali, bendungan
pada hati yang disertai dengan asites. Pada awal atau sebagian obstruksi vena
hati, penangkapan radioaktivitas 99mTc-koloid pada hati terlihat
berupa bintik-bintik yang menyebar. Sesuai dengan proses trombosis yang berlangsung,
penangkapan radioaktivitas pada ke dua lobus terus menurun bersamaan dengan
membesarnya lobus kauda dan menunjukkan aktivitas penangkapan radioaktivitas
yang relatif meningkat.
Pencitraan Blood Pool Hati
Suatu
hemangioma kavernosa dapat diyakinkan pada pemeriksaan dengan menggunakan 99mTc-koloid,
dimana terlihat sebuah defek dengan penangkapan radioaktivitas yang kurang meningkat
setelah pemberian radiofarmaka untuk sidik blood pool hati (99mTc-sel
darah merah).
Pemeriksaan blood pool secara dinamik akan
memperlihatkan citra perfusi yang normal atau kurang pada lesi. Untuk meningkatkan
kepekaan pemeriksaan menggunakan SPECT dapat dilakukan terutama bila letak posisi
lesi berada didalam atau lesi dengan ukuran diameter kurang dari 5 cm (Gambar
3.4). SPECT memiliki sensitivitas hampir 100% untuk deteksi hemangioma dengan
diameter lebih besar dari 1,5 cm; sensitivitas 50% atau kurang untuk lesi
dengan diameter yang lebih kecil daripada 1.0 cm.
Sidik Limpa
Citra
normal sidik limpa berupa penangkapan radioaktivitas yang homogen dengan
aktivitas penangkapan radioaktivitas yang sama atau kurang dibandingkan dengan penangkapan
radioaktivitas pada hati. Bentuk limpa mirip seperti telur dengan sedikit
penipisan bila dilihat dari posisi anterior dengan panjang normal limpa bila
dilihat pada lapang pandang posterior sekitar 10±1,5 cm dan tidak melebihi 13
cm.
Sidik Limpa Abnormal
Lesi Fokal
Defek
Soliter atau multipel pada limpa tidaklah spesifik dan mungkin dapat disebabkan
oleh sejumlah kelainan dimana perlu kehati-hatian dalam membedakannya, oleh
karenanya diperlukan korelasi terkait mengenai sejarah klinis dari penderita.
Kelainan paling umum yang terlihat sebagai defek pada limpa adalah kista, hematoma,
abses, infark dan neoplasma.
Splenomegali
Walaupun
pemeriksaan dengan USG relatif lebih murah dan tidak menggunakan radiasi
pengion, sidik limpa dapat dilakukan untuk mengkonfirmasi kecurigaan klinis dari
suatu splenomegali. Dengan ada atau tanpa ada perubahan penangkapan
radioaktivitas pada limpa, adanya infiltrasi dari suatu penyakit pada limpa
akan menyebabkan berbagai macam derajat splenomegali. Temuan ini sebagian besar
tidak spesifik dan sebaikanya ditafsirkan sesuai dengan gejala klinis yang ada.
Mungkin satu-satunya pengecualian untuk hasil ini adalah pada splenomegali yang
besar, dimana sering disebabkan oleh suatu leukemia limfositik kronis.
Trauma
Pemeriksaan
menggunakan CT adalah metode pilihan untuk trauma limpa akut, peran dari sidik
limpa biasanya sangat terbatas. Setelah terjadi trauma perut, jaringan limpa
mungkin dapat berada di lokasi lain (splenosis), seperti paru-paru dan rongga
peritoneal dimana bagian jaringan limpa tersebut tetap akan mengakumulasi 99mTc
koloid.
Limpa Yang Tidak Terlihat
Pada
beberapa kasus tertentu (Tabel 3.1) citra limpa mungkin tidak terlihat walaupun
tidak ada riwayat splenektomi sebelumnya. Kelainan bawaan asplenia mungkin
terkait dengan sejumlah kelainan kardiovaskular, paru-paru dan anomali perut.
Sedangkan pada anemia sel sabit, limpa mungkin tidak terlihat karena adanya
atrofi terkait dengan terjadinya infark yang berulang (autosplenectomy) pada limpa.
Radiofarmaka pilihan untuk pemeriksaan pendarahan sistem
GI adalah 99mTc-red blood cell
(RBC), terutama dalam kasus pendarahan intermiten atau lambat dengan
tingkat sensitivitas lebih dari 90% untuk pendarahan yang akif, dosis 99mTc-RBC
sekitar 15-20 mCi disuntikkan
secara intravena melalui vena mediana cubiti. Karena 99mTc-RBC
tetap berada di rongga intravaskular, maka pencitraan dapat dilakukan dalam
periode 24 jam. Lokasi 99mTc-RBC dari suatu pendarahan akan terlihat
sebagai lesi dengan aktivitas penangkapan radioaktivitas yang meningkat dan
posisi atau bentuk akan berubah seiring dengan berjalannya waktu. Jika penangkapan
radioaktivitas tetap berada di lokasi yang sama seiring berjalannya waktu, maka
kelainan vaskular bersifat statis dan dapat diduga sebagai aneurisma atau
angiodysplasia.
Penyebab utama dari pendarahan saluran cerna
bagian bawah pada orang dewasa adalah penyakit divertikular, angiodysplasia, neoplasma,
dan penyakit inflamasi usus. Dengan pencitraan menggunakan tehnik kedokteran
nuklir laju pendarahan di bawah 0,2 ml/menit masih dapat dideteksi dengan
sensitivitas yang baik.
Hasil
dikatakan positif bila pada pemeriksaan terlihat daerah dengan fokal aktivitas
penangkapan radioaktivitas yang meningkat pada daerah sekitar rongga perut atau
panggul disertai adanya pergerakan ke arah distal usus. Setelah pendarahan
teridentifikasi, hasil pencitraan sebaiknya diurutkan untuk membantu dalam
menentukan lokasi asal dari pendarahan.
Pemeriksaan dengan menggunakan 99mTc-RBC
memiliki tingkat sensitivitas sekitar 90%. Selain memberikan bukti adanya pendarahan
saluran cerna yang aktif serta lokasinya, pemeriksaan ini juga dapat digunakan sebagai
panduan untuk arteriografi selektif pada perut dan untuk menilai hasil terapi intervensi.
Pencitraan Divertikulum Meckel
Divertikulum
meckel terjadi pada sekitar 2% populasi dan didominasi oleh laki-laki. Meskipun
kebanyakan lesi (96%) asimtomatik, komplikasi dapat terjadi pada pasien walau
dalam persentase yang kecil. Gejala yang paling sering terlihat adalah adanya pendarahan
melalui anus yang menyakitkan, terutama terjadi pada anak kecil.
Pada
pemeriksaan dengan menggunakan 99mTc- pertechnetate pada pasien
dengan dugaan adanya pendarahan dari suatu divertikulum meckel dapat diketahui
didasarkan pada terlihatnya mukosa ektopik dimana hasil negatif umumnya
dikarenakan divertikulum pada pasein tidak memiliki jaringan ektopik lambung.
Pemeriksaan divertikulum meckel
dilakukan dengan cara menyuntikan 99mTc-pertechnetate dengan dosis
aktivitas 8-12 mCi (296-444 MBq) untuk dewasa dan 200-300 μCi/kg (7,4-11.1
MBq/kg) untuk anak-anak. Pencitraan dilakukan secara berurutan dalam waktu
45-60 menit dengan lapang pandang anterior dari daerah pelvis abdomen. Hasil
citra dikatakan positif bila terdapat daerah dengan fokal aktivitas penangkapan
radioaktivitas yang meningkat di kuadran kanan bawah atau pertengahan perut,
yang tidak terkait dengan aktivitas saluran kemih.
Hasil positif pada umumnya sudah dapat
dilihat dalam 30 menit pertama dari pemeriksaan tetapi mungkin juga diperlukan
waktu hingga 1 jam tergantung pada jumlah mukosa lambung. Hasil positif palsu
dapat terjadi dikarenakan adanya aktivitas pada saluran kemih, berbagai lesi
kecil diusus, penyakit inflamasi usus, lesi vaskular dan kista usus yang
mengandung mukosa lambung. Pemeriksaan ini memiliki tingkat sensitivitas dan
spesifisitas sekitar 90%.
3.5. Sidik Hepatobilier
Pemeriksaan
dengan menggunakan 99mTc yang dilabel dengan agen hepatobilier dapat
memberikan hasil pencitraan yang akurat dan nyaman pada pasien dengan penyakit
empedu akut atau kronis. Indikasi umum sidik hepatobilier adalah untuk penyakit
empedu akut, kolesistitis, identifikasi kebocoran empedu dan pada neonatus untuk
membedakan antara atresia empedu dengan hepatitis.
Radiofarmaka
Tersedia
sejumlah analog dari 99mTc-iminodiacetic acid (IDA) yang digunakan
untuk menghasilkan kualitas pencitraan yang sangat baik pada pemeriksaan sistem
empedu. Pencitraan dengan menggunakan 99mTc-IDA memiliki sifat chelating yang kuat sehingga membentuk
sebuah kompleks yang stabil.
Pasien
yang akan menjalani pemeriksaan sidik hepatobilier diharuskan untuk puasa
sekitar 8 jam, dimana pasien dengan penyakit yang akut disarankan untuk puasa
minimal 2 jam sebelum pemeriksaan. Setelah penyuntikan 99mTc-IDA secara
intravena dengan dosis 3-10 mCi (111-370 MBq), pencitraan dengan menggunakan
kamera gamma dilakukan secara berurutan dengan lapang pandang anterior dan
posisi pasien telentang. Pencitraan dilakukan dengan penangkapan radioaktivitas
sebesar 500-1000 k count dengan interval setiap 5 menit untuk setengah jam
pertama setelah penyuntikan dan kemudian dilakukan pengambilan citra yang sama
dengan interval waktu setiap 10 menit secara terus menerus selama setengah jam berikutnya.
Normalnya
kantung empedu dapat terlihat dalam setengah jam pertama pemeriksaan. Jika kantung
empedu ini tidak dapat terlihat dalam waktu 1 jam pertama, maka diperlukan
pengambilan citra setiap 1 jam selama kurang lebih 4 jam setelah penyuntikan
radiofarmaka.
Pemeriksaan Normal
Pada
pasien normal, pemeriksaan dengan menggunakan radiofarmaka 99mTc-IDA
diperlukan waktu selama 5 menit agar dapat menghasilkan citra organ hati yang baik
(Gambar 3.8). Jika karena suatu alasan tertentu pencitraan hati perlu ditambah,
maka pemeriksaan dapat dilakukan pada menit ke 10 atau 15 setelah penyuntikan. Setelah
15 menit radiofarmaka yang ada pada hati akan dibersihkan sehingga pemeriksaan 15
menit setelah penyuntikan akan menghasilkan citra hati yang kurang jelas.
Kolesistitis Akut
Pencitraan
hepatobilier telah terbukti memiliki nilai diagnosis yang besar dalam diagnosis
kolesistitis akut, lebih dari 95% pasien dengan diagnosis kolesistitis akut
memiliki obstruksi saluran karena suatu kista. Dalam kelompok pasien ini,
radiofarmaka yang diekskresikan ke dalam empedu dari hati tidak dapat masuk ke
dalam kantung empedu yang mengalami peradangan dikarenakan adanya obstruksi
saluran yang disebabkan adanya kista. Hal ini menjadi teori dasar dari
penggunaan 99mTc-hepatobilier dalam mendiagnosis suatu penyakit.
Diagnosis dari kolesistitis akut pada pasien yang puasa dapat dipercaya bila
terlihat citra penangkapan radioaktivitas di hati yang normal dan terjadinya
pengosongan radiofarmaka dari hati ke empedu tanpa terlihat adanya citra
kantung empedu selama 4 jam setelah penyuntikan.
Dari sejumlah besar pemeriksaan, akurasi
pemeriksaan cholescintigraphy untuk
diagnosis kolesistitis akut sebesar 95%. Pada pemeriksaan sidik hepatobilier,
terlihatnya penangkapan radioaktivitas pada kantung empedu kurang dari 4 jam
setelah penyuntikan dapat menyingkirkan suatu diagnosis dari kolesistitis akut.
Pada sekitar 20% pasien dengan kolesistitis akut dapat terlihat tanda Rim sign atau disebut juga pericholecystic
hepatic activity sign, tanda ini mengacu pada sebuah citra dengan penangkapan
radioaktivitas yang meningkat menyerupai pita yang melengkung di sepanjang tepi
hati kanan bagian bawah di atas fossa kantung empedu.
Rim
sign
sangat penting karena pada 70-85% pasien dengan kolesistitis akut 40% memiliki kantung
empedu yang berlubang atau mengalami perforasi. Cystic duct sign juga sering terlihat pada penyakit kolesistitis akut dimana dapat terlihat sebagai aktivitas penangkapan
radioaktivitas yang meningkat dengan fokus kecil di saluran empedu bagian proksimal
sampai daerah sumbatan, biasanya terlihat di antara saluran hati dan fosa
kantung empedu.
Meskipun
citra kantung empedu yang lambat terlihat berkorelasi baik dengan penyakit kantung
empedu kronis, namun hal itu dapat juga terjadi pada sejumlah kecil pasien
dengan kolesistitis akut sehingga adanya penyakit acalculous akut dengan
obstruksi parsial saluran cystic tidak dapat sepenuhnya disingkirkan. Pada
pasien dengan citra kantung empedu yang terlihat 1 jam setelah penyuntikan
radiofarmaka dan dicurigai sebagai penyakit akut maka perlu dilakukan konfirmasi
dengan temuan klinis. Respon kontraksi kantung empedu setelah diberikan cholecystokinin
(CCK) mungkin dapat memberikan petunjuk sebenarnya dari penyakit, dimana pada kantung
empedu yang gagal mengalami kontraksi dengan rangsangan CCK dapat dicurigai
sebagai penyakit kantung empedu akut. Namun demikian respon abnormal tidak secara
definitif membedakan antara penyakit akut dan kronis.
Pencitraan
dengan stimulasi CCK terhadap kantung empedu memungkinkan untuk penghitungan fraksi
ejeksi kantung empedu (Gambar 3.12). Umumnya, fraksi ejeksi kurang dari 35%
dianggap abnormal dengan nilai normal sekitar 75%; deviasi standar sekitar 20%.
Waktu pengosongan normal kantung empedu adalah sekitar 6% per menit.
Obstruksi Saluran Empedu
Biasanya
pada dugaan sumbatan pada saluran empedu akan dilakukan pemeriksaan dengan menggunakan
USG, CT atau magnetic resonance cholangio
pancreatography (MRCP) dimana memberikan hasil citra anatomi yang sangat
rinci dan informasi diagnostik. Namun, masih penting untuk memahami citra
sumbatan empedu pada sidik hepatobilier karena sejumlah besar pasien yang
diperiksa untuk suatu kolesistitis akut dalam salurannya terdapat batu yang
pada umumnya akan menyebabkan sumbatan dalam derajat yang berbeda. Pada sidik
hepatobilier dengan citra hati yang baik dan kurang terlihatnya citra empedu
merupakan khas untuk suatu obstruksi total pada saluran empedu.
Sumbatan mungkin dapat bersifat mekanis
karena adanya batu, neoplasma atau fungsional seperti yang terlihat pada
beberapa kasus ascending cholangitis. Intrahepatik kolestasis dapat disebabkan
karena obstruksi kanalikuli oleh penggunaan obat-obatan tertentu atau adanya
hepatitis yang dapat juga memberikan citra yang hampir sama dengan obstruksi
total pada saluran empedu. Dengan adanya obstruksi parsial pada saluran empedu,
maka derajat obstruksi akan dapat terlihat pada citra dan
kadang-kadang adanya citra defek akan menunjukkan lokasi dari sumbatan. Hepatitis dan Atresia Biliari Pada Bayi
Tehnik
pemeriksaan dengan menggunakan radiofarmaka telah digunakan untuk membedakan
antara atresia biliari dengan hepatitis pada bayi. Intervensi dini dari
pengobatan atresia biliari merupakan kunci sukses pengobatan dengan cara
pembedahan, maka diagnosis yang tepat sangat penting. Pemeriksaan cholescintigraphy dapat memberikan salah
satu petunjuk untuk diagnosa yang tepat karena diagnosis atresia biliari tidak
dapat dipastikan hanya berdasarkan gejala klinis, laboratorium, atau biopsi..
Pencitraan dengan analog 99mTc-IDA telah digunakan untuk
mendiagnosis atresia biliari dengan menunjukkan adanya sumbatan pada saluran
ekstrahepatik empedu pada bayi dengan jaundice.
Pada bayi dengan penyakit hepatoseluler parah
yang disebabkan oleh karena penyakit hepatitis maka dengan pemeriksaan cholescintigraphy saluran empedu akan
tidak terlihat sehingga adanya atresia biliari akan sulit didiagnosis, dengan
demikian perlu dilakukan pencitraan tambahan 24 jam setelah penyuntikan
radiofarmaka.
Pemeriksaan Fungsi Gastroesophageal
Pemeriksaan
sidik fungsi gastroesophageal akan memberikan rasa nyaman pada pasien karena
merupakan metode non-invasif yang dapat langsung digunakan untuk menilai
motilitas saluran GI. Beberapa parameter fisiologis dari saluran GI bagian atas
yang dapat dinilai menggunakan sidik fungsi gastroesophageal diantaranya waktu
transit esophagus, deteksi dan kuantisasi gastroesophageal, refluks enterogastrik
dan waktu pengosongan lambung.
Waktu Transit Esofagus
Radiofarmaka
99mTc-sulfur koloid diberikan secara oral berupa cairan sehingga
dapat digunakan untuk mengukur waktu transit pada esofagus. Pemeriksaan ini
memiliki hasil citra anatomi dengan resolusi yang terbatas dan merupakan
pemeriksaan kuantitatif. Jumlah Radiasi yang terserap pada pemeriksaan ini
sekitar 20 mrad (0.2 mGy), relatif sangat kecil bila dibandingkan dengan pemeriksaan
menggunakan barium (beberapa puluh mGy). Sebelum pemeriksaan dilakukan, pasien
diharuskan untuk puasa minimal 6 jam sebelum pemeriksaan. Pencitraan dilakukan dengan
posisi telentang dan kepala tegak, dimana pasien diinstruksikan untuk menelan 99mTc-sulfur
koloid dengan dosis 300 μCi (11.1 MBq) dalam 10 ml air bersamaan dengan itu dimulai
pengambilan citra. Pasien kemudian diharuskan melakukan menelan
"kering" setiap 15 detik selama 5 menit.
Waktu
transit esofagus terdiri dari kurva waktu interval antara puncak aktivitas pada
1/3 proksimal dan 1/3 distal dari esofagus. Pada orang normal, waktu transit
esophagus dengan menggunakan air adalah 5-11 detik
Reflux Gastroesophageal
Pada
pasien dengan adanya gejala sakit maag atau regurgitasi, pemeriksaan sidik refluks
gastroesophageal akan memberikan hasil yang sensitif dan sangat berguna dalam
menentukan dan mengukur adanya refluks. Radiofarmaka terpilih yang digunakan
adalah 99mTc-sulfur koloid yang diberikan secara oral dengan dosis 300
μCi (11.1 MBq) dalam 150 ml jus jeruk dengan kombinasi 150 ml asam klorida normal
0,1. Sebelumnya pasien harus puasa semalaman atau minimal 2 jam setelah makan
makanan cair. Pasien dalam posisi duduk kemudian minum sebanyak 150 ml dan
dilakukan pengambilan citra secara serial 30 detik selama 60 menit.
Pada
bayi, pemeriksaan dilakukan dengan cara mencampur 99mTc-sulfur
koloid dengan susu formula bayi. Pemeriksaan ini digunakan untuk melihat adanya
refluks gastroesophageal dan aspirasi paru dari isi lambung. Pada adanya dugaan
aspirasi, maka dilakukang pengambilan citra tambahan pada lapang pandang anterior
setelah 2-4 jam setelah penyuntikan untuk melihat adanya aktivitas pada
paru-paru.
Pada
anak-anak, 99mTc-sulfur koloid dapat diberikan sebagai makanan cair
pada waktu tidur dan pencitraan dilakukan ketika bangun tidur. Refluks
esophagus dinyatakan sebagai persentase dari aktivitas radioaktif yang dihitung
pada awal pemeriksaan sebelum terjadinya refluks dan saat adanya refluks yang
masuk ke esofagus. Batas refluks gastroesophageal pada orang normal sekitar 3% dengan tingkat sensitivitas sekitar 90%. Pemeriksaan ini dapat
digunakan untuk diagnosis awal dan evaluasi hasil terapi.
Waktu Pengosongan lambung
Sidik
pengosongan lambung merupakan pemeriksaan baku emas untuk menilai waktu
pengosongan lambung. Evaluasi waktu pengosongan lambung sangat rumit karena
bahan makanan cair dan padat memiliki waktu pengosongan yang berbeda dan
sejumlah faktor yang mengatur proses ini. Sebagai contoh adanya distensi pada
lambung akan mempercepat waktu pengosongan lambung, sedangkan lemak akan
memperlambat waktu pengosongan lambung. Secara umum, pemeriksaan dengan
menggunakan makanan padat akan sangat relevan dengan pasien yang memiliki
keluhan pada perut setelah makan.
Untuk
pemeriksaan dengan menggunakan bahan makanan padat dapat menggunakan 99mTc-koloid
dicampur dengan telur atau putih telur. Dimana metode yang banyak digunakan
adalah campuran 0,5-1 mCi (18,5-37 MBq) 99mTc-sulfur koloid diaduk
dengan telur yang digoreng disajikan dengan roti putih, beserta 30 gr selai
strawberri dan 120 ml air. Pasien diharuskan untuk memakan makanan tersebut
dalam waktu 10 menit bersamaan dengan air 120 ml. kemudian dilakukan pencitraan
dengan posisi pasien duduk tegak dan dilakukan pencitraan tambahan setiap 60
menit hingga 4 jam setelah makan. Pasien tidak boleh mengkonsumsi makanan padat
atau cair selama periode pemeriksaan 4 jam.
Pemeriksaan menggunakan dua detektor (anterior
dan posterior) merupakan tehnik pemeriksaan yang paling akurat, dimana akan
diperoleh nilai berdasarkan geometris lambung. Pada bayi
pemeriksaan waktu pengosongan lambung dapat diberikan makanan cair berupa air
susu ibu (ASI) atau susu formula yang dicampur dengan 99mTc-sulfur
koloid dengan dosis 2.5-5 μCi (0,09-0,18 MBq) per ml cairan susu. Waktu
setengah pengosongan lambung dengan menggunakan makanan padat sekitar 30-105
menit, sedangkan untuk makanan cair sekitar 12-65 menit. Pada bayi bervariasi
antara 25-40 menit dengan menggunakan ASI dan 60-90 menit untuk susu formula.
Pemeriksaan
waktu pengosongan lambung sering digunakan untuk mengkonfirmasi diagnosis
gastroparesis sebagai penyebab mual dan muntah yang terjadi terus menerus serta
untuk memantau keberhasilan dari terapi pada pasien dengan motilitas lambung
yang terganggu.
KESIMPULAN
Meski tidak dapat memberikan hasil citra anatomi
yang baik, pemeriksaan kedokteran nuklir pada sistem GI dan hepatobilier memainkan
peran penting karena dapat memberikan hasil citra fungsional yang non invasif
dan kuantifikasi dari fungsi pencernaan dimana hal ini tidak dapat dilakukan
oleh metodologi pemeriksaan lainnya semisal USG, CT dan MRI.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Biersack
H. J, Cox P. H. Nuclear Medicine in Gastroenterology. Springer Science +
Business Media, B.V. 1991 P.1-233
2.
Fisiologi
Sistem Pencernaan Manusia.
http://www.anneahira.com/fisiologi-sistem-pencernaan-manusia.htm
3.
Mettler FA, Guiberteau MJ. Essentials of
Nuclear Medicine Imaging, 6th Ed. Saunders Elsevier 2012, Philadelphia. P. 237-70
4.
Thrall JH. Nuclear Medicine: The Requisites in Radiology 3rd Ed.
Mosby 2006, Philadelphia. P. 350-87
5.
Dinant
S, Wilmar de Graaf, Verwer B. J, et all. Risk Assessment of Posthepatectomy
Liver Failure Using Hepatobiliary Scintigraphy and CT Volumetry. J Nucl Med
2007, Jnumed 48:685–692.
6.
Ziessman H. A, O’Malley J. P, Thrall J. H, The Requisites
Nuclear Medicine 4rd Ed. Saunders Elsevier 2014, Philadelphia. P.
136-72, 293-326
7.
Cook G. J. R, Maisey M. N, Britton K. E, Chengazi V.
Clinical Nuclear Medicine 4rd Ed. Edward Arnold (Publishers) Ltd
2006, London. P. 619-44
8.
Fogelman I, Clarke S. E. M, Cook G, Gnanasegaran G.
An Atlas of Clinical Nuclear Medicine 3rd Ed.
CRC Press Taylor & Francis Group 2014, P. 1245-96
9.
IAEA.
Nuclear medicine Resources Manual. International Atomic Energy Agency 2006,
Vienna. P. 267-98
10.
Howarth
D. M. The Role of Nuclear Medicine in the Detection of Acute Gastrointestinal
Bleeding. Elsevier Inc 2006. Semin Nucl Med; 36:133-146.
11.
Kan
J. H, Funaki B, O’Rourke B.D, et all. Delayed
99mTc-labeled Erythrocyte Scintigraphy in Patients with Lower
Gastrointestinal Tract Hemorrhage: Effect of Positive Findings on
Clinical Management. AUR 2003. Acad
Radiol 2003; 10:497–501.
12.
Mariani
G, Ernest K.J. Pauwels, Abedallatif AlSharif, et all. Radionuclide Evaluation
of the Lower Gastrointestinal Tract. J Nucl Med 2008, Jnumed 49:776–787.
13.
Elgazzar A. H. The
Pathophysiologic Basis of Nuclear Medicine 2nd Ed. Springer-Verlag 2006, Berlin
Heidelberg. P. 395-447
14.
Tulchinsky
M, Colletti P. M, Allen T. W. Hepatobiliary Scintigraphy in Acute
Cholecystitis. Elsevier 2012, Semin Nucl Med 42 P. 84-100
15.
Arnell
H, Fischler B, Bergdahl S, et all. Hepatobiliary Scintigraphy During
Cholestatic and Noncholestatic Periods in Patients with Progressive Familial
Intrahepatic Cholestasis After Partial External Biliary Diversion. Elsevier
2011.
16.
Ziessman
H. A. Hepatobiliary Scintigraphy in 2014. J Nucl Med 2014. Jnumed; 55:967–975.
17.
Ishii
T, Nio M, Shimaoka S, Sano N, et all. Clinical
Significance of 99mTc-DTPA-Galactosyl Human Serum Albumin Liver
Scintigraphy in Follow-up Patients with Biliary Atresia. Elsevier Inc 2003. Journal of Pediatric Surgery, Vol 38,
No 10; P. 1486-1490.
18. Van der Pol R. J,
Smits M. J, Venmans L. Diagnostic Accuracy of Tests in Pediatric
Gastroesophageal Reflux Disease. Mosby
Inc 2013. J Pediatr 2013; 162:983-7.
19. Warrington J. C, Charron M.
Pediatric Gastrointestinal Nuclear Medicine. Elsevier Inc 2007. Semin Nucl Med
37: 269-285.
20.
Bowling T. E, Cliff B, Wright J. W, et all. The Effects of Bolus
and Continuous Nasogastric Feeding on Gastro-oesophageal Reflux and Gastric
Emptying in Healthy Volunteers: A randomised Three-way Crossover Pilot Study. Elsevier Ltd and European Society
for Clinical Nutrition and Metabolism 2008, Jclnu.
21.
Galli J, Volante M, Parrilla C, Rigante M. Oropharyngoesophageal
Scintigraphy in The Diagnostic Algorithm of Laryngopharyngeal Reflux Disease: A
Useful Exam? The American Academy of Otolaryngology–Head and Neck Surgery
Foundation, Inc. 2005. Otolaryngol Head Neck Surg; 132: 717-21.
22.
Odunsi S. T, Camilleri M. Selected Interventions in Nuclear
Medicine: Gastrointestinal Motor Functions. Elsevier 2009, Semin
Nucl Med 39:186-194.
23.
Phillips L. K, Rayner C. K, Jones K. L, Horowitz M. Measurement of
Gastric Emptying in Diabetes. Elsevier
2014.
24.
Abell T. L, Camilleri M, Donohoe K, et
all. Consensus Recommendations for Gastric Emptying Scintigraphy: A Joint
Report of the American Neurogastroenterology and Motility Society and the
Society of Nuclear Medicine. Am. Coll. of Gastroenterology 2008, American
Journal of Gastroenterology.
25.
Hirata E. S, Mesquita M. A, Filho G. A, Camargo G. E. Gastric
Emptying Study by Scintigraphy in Patients with Chronic Renal Failure. Revista
Brasileira de Anestesiologia 2012. Rev Bras Anestesiol; 62: 1: 39-47.
26.
Phillips L. K, Rayner C. K, Jones K. L, Horowitz M. Measurement of
Gastric Emptying in Diabetes. Elsevier
2014. Journal of Diabetes and Its Complications
(2014).
No comments:
Post a Comment