referat ke-2 (dr. Mutia Sari)
BAB I
Pendahuluan
Sidik ventilasi perfusi paru merupakan metode non-invasif utama yang
digunakan untuk menegakkan diagnosa emboli paru. Sejak awal tahun 1980-an sidik
ventilasi perfusi paru telah digunakan untuk menegakkan diagnosa emboli paru.
Sejumlah penelitian menunjukkan keuntungan dari sidik ventilasi dan perfusi paru, sehingga diindikasikan sebagai first line method untuk menegakkan diagnosa
emboli paru. Satu hal yang sangat penting adalah untuk memperkirakan
kemungkinan klinis suatu emboli paru sebelum pencitraan dilakukan.
Sidik ventilasi dan perfusi
paru terutama digunakan untuk
mendiagnosa emboli paru. Sidik ventilasi dan perfusi paru memungkinkan
dilakukannya pencitraan dari distribusi
radiofarmaka pada saat ventilasi dan
perfusi dan juga penilaian dari fungsi regional dari paru yang sakit.
Sidik ventilasi dan perfusi paru dapat juga digunakan untuk menegakkan diagnosa beberapa penyakit lain
seperti; pneumonia, gagal jantung, penyakit obstruksi paru hipertensi pulmonal
dan lain-lain. Berdasarkan pedoman dari European Association of Nuclear Medicine bahwa sidik ventilasi dan
perfusi paru SPECT merupakan prosedur
pencitraan terpilih pada pasien yang
secara klinis dicurigai emboli paru. Sidik ventilasi dan perfusi
paru SPECT dapat dilakukan tanpa
kontraindikasi dan pemberian radiasi dengan batasan yang rendah.
BAB II
Radiofarmaka pada sidik ventilasi dan perfusi
paru
Sidik ventilasi dan perfusi paru
dapat dilakukan dengan sidik ventilasi, sidik perfusi atau dengan keduanya.
Sidik ventilasi adalah suatu pencitraan yang dapat menggambarkan
distribusi radioaktivitas didalam
saluran bronkus dan paru. Sedangkan Sidik perfusi paru adalah suatu pencitraan yang dapat
menggambarkan distribusi radioaktivitas di dalam aliran darah arterial
pulmonari.
II.A. Radiofarmaka pada sidik perfusi paru.
Diameter dari sel darah merah lebih kurang 8µm. Kapiler-kapiler pembuluh
darah mempunyai ukuran yang sedikit lebih besar, yaitu berkisar antara 7-10µm
dan prekapilari arteriol- arteriol bekisar 35µ. Suatu agent pencitraan perfusi harus memiliki ukuran yang lebih besar
dari ukuran kapiler agar dapat terperangkap di kapiler bed. Jika ukuran partikel dari agent
terlalu besar maka, distribusinya tidak dapat sepenuhnya menggambarkan
perfusi. Hal ini dikarenakan sebahagian besar partikel tertanggap pada arteri
central dari pada kapiler dan prekapiler.
Beberapa agent partikel yang berbeda
telah digunakan bertahun-tahun dan yang pertama sekali di ujikan pada manusia
adalah 131I yang dilabel dengan macroaggregated albumin. Pada perkembangan
selanjutnya digunakan Technetium-99m yang dilabel dengan human albumin
microspheres ( 99mTc-HAM ) dan penggunaannya dalam dunia klinis
tidak berlangsung lama.
99mTc- macroaggregated
albumin (99mTc-MAA) adalah radiofarmaka yang banyak digunakan saat
ini pada pencitraan perfusi paru. Waktu paroh biologis dari MAA didalam paru
biasanya sekitar 4-6 jam. Dengan berjalannya waktu partikel dari MAA akan
mengalami degradasi dan penghancuran melalui proses fagositosis di dalam system
retikuloendotelial. Ukuran partikel
dari macroaggregates of human albumin berkisar antara 15-100µm yang disuntikkan
secara intravena. Hal ini mengakibatkan terbentuknya
mikroembolisasi pada kapiler paru dan prekapiler arteriol, sehingga dapat
merefleksikan gambaran perfusi regional di paru. Setelah penyuntikan
99mTc-MAA ke dalam vena perifer, partikel
akan masuk melalui atrium kanan
dan ventrikel kanan di
mana pencampuran terjadi. Kemudian partikel tersebut
keluar atau terjebak
saat melalui paru. Di
daerah-daerah mengalami penurunan atau tidak ada perfusi, partikel lebih sedikit yang
dikirim dan terperangkap,
sehingga menggambarkan daerah yang relatif photopenic atau
"cold". Hal ini
menghasilkan peta perfusi dari
paru-paru.
Jumlah dari partikel MAA yang
digunakan merupakan hal yang sangat penting, Jika jumlah partikel yang
digunakan terlalu kecil, pola distribusi pada kapiler bed akan tidak akurat. Disisi lain jika terlalu banyak jumlah
partikel yang diberikan, secara tiroiritis dapat menghalangi hemodinamik dari
sirkulasi paru. Jumlah minimum partikel yang diberikan pada orang dewasa adalah
200.000-500.000 partikel.
Pada kondisi-kondisi tertentu
seperti; hipertensi pulmonal, kehamilan dan pirau jantung kanan ke kiri dan anak-anak,
jumlah partikel yang diberikan harus
dikurangi. Pada pasien dengan pirau jantung kanan ke kiri, 99mTc-MAA
dapat ditemukan pada ginjal, otak dan
struktur yang lain namun hal ini tidak menjadi kontraindikasi pada pelaksanaan
sidik perfusi paru.
Ketika emboli paru secara klinis
dicurigai pada pasien yang dalam kondisi hamil, pemeriksaan sidik ventilasi dan
perfusi paru menawarkan kemampuan untuk
mendiagnosa emboli dengan radiasi yang
relatif rendah pada janin. Jumlah
radiasi yang digunakan haruslah minimum dengan cara mengurangi jumlah 99mTc-MAA
yang digunakan dengan pertimbangan bahwa
dosis yang diberikan harus mengandung minimal 100.000 partikel.
Sebelum penyuntikan radiofarmaka 99mTc-MAA,
pasien disarankan untuk batuk dan mengambil nafas panjang. Dikarenakan campuran
partikel 99mTc-MAA cenderung cepat menggumpal, maka sebelum
pemberian dilakukan pengocokan terlebih dahulu dan ukuran jarum suntik yang
digunakan harus besar untuk mencegah fragmentasi selama pemberian. Penyuntikan
radiofarmaka dilakukan dalam posisi berbaring untuk meminimalkan gradient
gravitasi dari puncak ke dasar dan perhatian kusus harus dilakukan agar
tidak melakukan aspirasi jarum pada saat
penyuntikan, karena jika hal ini
dilakukan dapat menimbulkan gumpalan didalam suntikan dan memberikan gambaran hot
emboli pada paru-paru. Pada pasien dengan kasus orthopnea, mendekati
posisi berbaring masih dimungkinkan.
Pada pencitraan sidik ventilasi dan
perfusi yang dilakukan dalam satu hari bersamaan. Pemeriksaan ventilasi
dilakukan terlebih dahulu. Setelah ventilasi SPECT dilakukan pencitraan perfusi baru dilakukan.
II. B. Radiofarmaka pada sidik
ventilasi
II.
B. I. 99mTc-Carbon (Technegas)
Technegas adalah suatu aerosol dari
partikel karbon yang sangat kecil. Berukurang 0.005-0,2 mikron yang dihasilkan
dengan cara pemanasan dengan suhu tinggi. Ukuran partikelnya sangat kecil, hal ini
mengindikasikan bahwa terdapat distribusi yang rata pada paru yang hampir
menyerupai gas dan deposit di alveoli
dengan cara difusi. Beberapa peneliti telah mempelajari
kualitas gambar dan kuantitas pengendapan technegas dibandingkan dengan berbagai gas seperti 133Xe
dan 81mKr. Pada beberapa studi menunjukkan bahwa technegas
memberikan pencitraan yang setara dengan 81mKr.
Beberapa peneliti lain menemukan perbedaan dan
lainnya menemukan technegas lebih unggul dari aerosol.
Jonas
Jogi dkk, membandingkan ventilasi dengan menggunakan 99mTc-DTPA dan
technegas pada kelompok pasien dengan penyakit paru obstruksi kronik (PPOK) dan
penyakit paru non-obstruksi. Hasilnya Technegas lebih superior
dari radioaerosol terutama pada pasien dengan penyakit paru obstruktif.
Technegas mengurangi masalah endapan di sentral saluran pernafasan dan hot-spot
di diperifer. Ketidakrataan dari endapat radiotracer dan derajat dari endapaan
disentral lebih sedikit jika menggunakan technegas, terutama pada pasien dengan
obstruktif paru. Keuntungan lain menggunakan tekhnegas adalah pada pasien
dengan pernafasan yang kurang, cukup untuk mencapai jumlah aktivitas yang
memadai di paru.
Ieneke
J.C dkk, membandingkan kinerja sidik
ventilasi
paru menggunakan technegas dan
81mKr pada
pasien yang
secara klinis
dicurigai emboli
paru. Hasilnya; kesesuaian hasil antara 81mKr dan technegas adalah 95%. 15 dari 92 pasien (16%) ketidaksesuaian ditemukan
antara technegas dan 81mKr. Hasil positif
palsu ditemukan pada 4 dari 12 pasien dengan 81mK
(33%) dibandingkan dengan 2 dari 3 pasien (66%) dengan
technegas.
II.
B. II. 133Xenon.
133Xe sangat sensitif
untuk mendeteksi COPD, mempunyai waktu paruh 5.27 hari. Terdapat beberapa
kelemahan dari 133Xe, diantaranya 133Xe mempunyai puncak
energi sebesar 81keV sehingga tidak optimal untuk pencitraan dengan menggunakan
kamera gamma dan memberikan hasil citra dengan resolusi yang rendah.
Namun terdapat pula keuntungan lainnya seperti; pencitraan dapat diperoleh mulai dari fase initial sampai dengan fase washout sehingga memberikan
gambaran yang lebih lengkap dari ventilasi dan lebih sensitif pada penyakit paru obstruksi. 133Xe merupakan gas berat, yang
jika lolos ke ruangan akan menetap dilantai. Sehingga ruangan wajib memiliki
aliran udara yang baik, ventilasi external yang aman dan harus bertekanan
negatif
Pencitraan
dengan menggunakan 133Xe dilakukan dalam tiga fase;
1.
Initial
single breath hold.
Fase awal pada saat 133Xe
dihirup kedalam paru.
2.
Equilibrium
Pada
fase ini 133Xe yang masuk kedalam paru melewati alveolar-kapiler dan
didistribusikan keseluruh tubuh.
3.
Washout
Idealnya
pencitraan ventilasi paru dilakukan setelah pencitraan perfusi paru, namun kerena
133Xe mempunya puncak energi yang rendah, maka pencitraan sidik
ventilasi paru dilakukan sebelum pencitraan perfusi. Jika dilakukan setelah
sidik perfusi (99mTc-MAA) dapat menyabakan scatter sehingga menurunkan kualitas citra dari 133Xe
yang pada akhirnyanya dapat mempersulit interpretasi. 133Xe dapat
larut dalam lemak , sehingga 133Xe
dapat menumpuk dan disimpan di dalam hepar pada pasien dengan fatty liver.
Dikarenakan
ventilasi harus dioptimalkan, maka pada pasien dengan bronkospasme harus
diberikan terapi bronkodilatasi sebelum pemberian 133Xe dilakukan
dan pada pasien- pasien yang dengan takipnou, pasien yang tidak koperatif atau
yang tidak responsif diperlukan modifikasi protokol.
II.
B. III. 127Xenon
Keuntungan utama dari 127Xe
adalah puncak energi yang lebih tinggi dari
172 keV. Energi ini lebih
tinggi dibandingkan dengan 99mTc- MAA pada
sidik perfusi, sehingga ventilasi scan
dapat dilakukan setelah perfusi
scan dan pencitraan dapat dioptimalkan.
Namun, waktu paroh fisik yang panjang, yaitu 36,4 hari.
H.L. Atkins dkk, membandingkan
ventilasi scan antara 127Xe dan 133Xe yang dilakukan pada
19 pasien dengan berbagai masalah paru. Hasilnya;
hasil citra 127Xe lebih disukai dari pada 133Xe karena
rata-rata cacahan yang tinggi, dosis radiasi yang rendah untuk pasien,
perbaikan kualitas citra dapat diperoleh dengan 127Xe dan apa bila
pemeriksaan perfusi dengan menggunakan Tc-99m sebelumnya, hal ini tidak
mempengaruhi kualitas dari citra ventilasi jika menggunakan 127Xe.
II. B. IV. 99mTc-DTPA
99mTc yang dilabel dengan
diethylenetriaminepentaacetic acit umum digunakan untuk sidik ventilasi. Pada orang yang sehat, bersihan dari 99mTc-DTPA
dapat tejadi sekitar 70 menit. Peningkatan bersihan 99mTc-DTPA dapat
menyebabkan pemendekan dari waktu paroh.
Hal ini dapat ditemukan pada beberapa peradangan alveolar seperti alveolitis
yang disebabkan proses alergi atau toksik dan dapat pula pada peroko.
Pada pemeriksaan ventilasi dengan menggunakan
radioaerosol 99mTc-DTPA, radiofarmaka ditempatkan didalam nebulizer
kusus dan pasien diminta bernapas melalui sistem mouthpiece
sampai radioaerosol cukup dikirim ke paru-paru. Hal ini memerlukan waktu
beberapa menit. Selama pemeriksaan ini, pasien dalam posisi terlentang dengan
tujuan untuk menurunkan gradien dari apeks ke basal. Jika pasien diletakkan
pada posisi tegak atau duduk akan menyebakan peningkatan deteksi defek pada
basal. Walaupun
radiofarmaka yang diberikan di dalam nebulizer dalam jumlah besar yaitu 25–35
mCi, hanya 0.5-1mCi yang sampai ke paru-paru pasien dan pencitraan
dapat dilakukan pada 1-2 menit kemudian.
Karena pencitraan ventilasi dan
perfusi menggunkan radiofarmakan yang sama-sama dilabel dengan 99mTc,
maka sangat penting bahwa laju pencacahan (count)
dari pencitraan kedua harus tiga sampai empat kali dari pencitraan pertama.
Pencitraan ventilasi dengan menggunakan aerosol (99mTc-DTPA)
biasanya dilakukan sebelum pencitraan perfusi dengan menggunakan 99mTc-MAA.
Hal ini dikarenakan lebih sulit untuk memberikan dosis yang lebih besar 99mTc
aerosol dibandingkan memberikan dosis yang lebih besar 99mTc
macroaggregated albumin (MAA).
II. B. V. Krypton- 81m (81mKr)
Krypton-81m (81mKr) telah
dianjurkan untuk digunakan pada pencitraan ventilasi. 81mKr
mempunyai waktu paruh 13 detik dengan puncak energy antara 176 dan 192 keV. Berasal dari
generator, rubidium-81 (81Rb) isotope induk yang mempunyai waktu
paroh pendek 4.6 jam, sehingga walaupun tersedia namun tidak mudah dalam
penggunaannya. Karena 81mKr mempunyai puncak energi lebih tinggi
dari 99m Tc-MAA, maka pencitraa ventilasi dengan menggunakan 81mKr
dilakukan sebelum pencitraan perfusi dan waktu paroh 81mKr yang
pendek memungkinkan dilakukan pencitraan dengan cepat. Sebagai tambahan, 81mKr
mahal, ketersediaannya terbatas dan jarang digunakan dalam praktik.
BAB III
Sidik Ventilation–Perfusion
Paru Pada Berbagai Kelainan Paru
III. A. Emboli paru ( mismatched defect)
Diagnosa emboli paru dengan menggunakan pencitraan ventilasi dan
perfusi didasari pada ketidaksesuaian
antara ventilasi dan perfusi sebagai hasil dari obstruksi aliran darah arteri yang disebabkan oleh
emboli pada segmental paru. Dengan pencitraan 99m Tc-MAA, partikel MAA
yang tidak dapat masuk ke dalam kapiler bed bagian distal menyebabkan
penyumbatan dan digambarkan sebagai defek pada perfusi. Karena ventilasi pada
umumnya tidak dipengaruhi oleh adanya emboli, pencitraan dengan Xenon dan
aerosol biasanya tetap normal.
Sebahagian besar manifestasi dari
emboli paru adalah defek berbentuk baji
(wedge- shaped) pada perfusi dengan ventilasi yang normal ( mismatch).
Walaupun prinsip ini terlihat mudah,
namun dalam prakteknya begitu banyak kesulitan yang dihadapi oleh dokter
kedokteran nuklir. Untuk alasan ini, telah banyak definisi yang digunakan untuk
menggambarkan hasil pencitraan ventilasi/ perfusi sebagai suatu kriteria yang
digunakan untuk menyimpulkan diagnosa.
III.
A. I. Prinsip dasar dari PIOPED
1. Perfusi
paru normal.
Normal sidik perfusi ditunjukkan dengan adanya kesan dari hilus dan
aorta. Gambaran perfusi paru yang normal pada dasarnya dapat menepis adanya
emboli paru secara klinis dan hasil sidik ventilasi dapat diabaikan.
1. Defek
pada perfusi.
Defek
pada perfusi digambarkan sebagai suatu fokus yang tanpa atau aktivitas yang
kurang pada pencitraan perfusi. Defek pada perfusi tidak spesifik
dan dapat disebabkan oleh;
-
Emboli paru
-
Bula atau kista
-
Efusi pleura
-
Atelektasis
-
Vasculitis
-
Fibrosis
-
Edema paru
-
Pneumonia
-
Hilar adenopati (limfoma, sarcoidosis)
-
Pneumonectomy
-
Tumor atau metastasis
-
Hipoxia yang terlokalisasi yang dapat
disebabkan oleh asma, bronchitis dan emfisema.
3. Klasifikasi Defek perfusi
3.a.
Segmental
Defek perfusi dapat melibatkan semua
atau sebagian dari segmen paru. Defek perfusi pada defek segmental sesuai
dengan segmen anatomi paru dan pada umumnya wedged
shape dan berbasis di pleural. Defek pada segmen digolongkan berdasarkan ukuran defek. Dinyatakan
sebagai large segmental defect jika
75% atau lebih segmen yang yang terlibat, moderate
segmental defetc jika 25-75% segmen yang terlibat dan small segmental defect jika
kurang dari 25% segmen yang terlibat. Semakin besar ukuran defek dan jumlah
segmen yang terkena, kemungkinan dari emboli paru semakin meningkat.
3.b
Non- segmental
Defek pefusi pada defek
non-segmental tidak sesuai dengan segmen anatomi paru, pada umumnya tidak
berbentuk wedged shape dan dapat atau tidak dapat berbasis di
pleural. Hal ini dapat disebabkan oleh kelainan non-pulmonary termasuk struktur hilar, perubahan pada bentuk dan
posisi diafragma, jantung atau varian normal atau patologis dari struktur
mediastinal. Selaian kelainan non-
pulmonary, kelainan paru primer dapat juga menjadi penyebab defek non-segmental seperti; neoplasma, bulla,
pneumonia, hemorrhgy, edema atau infiltrate. Defek non- segmental tidak dapat
dihubungkan dengan emboli paru.
Sejumlah kriteria telah digunakan
sebagai alat investigasi untuk
menegakkan diagnosa emboli paru. PIOPED (prospective investigation of pulmonary
embolism) dan PIOPED II adalah studi multi- institusional yang melibatkan
banyak bagian dan dirancang untuk
mengevaluasi efektivitas dari berbagai cara untuk mendiagnosis emboli paru
akut. Lebih kusus lagi tujuan dari PIOPED adalah untuk menentukan sensitivitas
dan spesifitas V/Q pada pencitraan paru dengan menggunakan satu set kriteria khusus untuk memperoleh
probabilitas atau rasio kemungkinan untuk kemungkinan adanya tromboemboli.
Kriteria PIOPED telah disempurnakan dengan penyesuaian dan penyederhanaan dari
kriteria aslinya, sehingga yang umum digunakan saat ini adalah kriteria PIOPED
II modified.
Kriteria PIOPED II yang sudah
dimodifikasi adalah kriteria yang paling umum digunakan di Amerika.
Terdapat dua versi kriteria PIOPED yang dimodifikasi;
1. PIOPED II yang dimodifikasi yang
menggunakan sidik ventilasi dan perfusi dan pemeriksaan radiologi foto thorak.
2. PIOPED II yang hanya menggunakan sidik
perfusi saja dan pemeriksaan radiologi foto thorak.
PIOPED I dikatogorikan menjadi high,
moderate (intermediate) dan low probability emboli paru dan sebagai tambahannya
non-dignostic untuk keadaan lain selain emboli paru. Namun kriteria high,
moderate dan low probability untuk emboli paru telah diganti dengan kategori
high (PE-present) dan very low (PE-absent).
Kriteria PIOPED II yang telah
dimodifikasi diklasifikasikan menjadi high probability untuk emboli paru dengan
nilai ramal positif sebesar 85%, very low probability dengan nilai ramal
positif kurang dari 10%, normal scan dan
semua hasil sidik ventilasi dan perfusi scan yang tidak termasuk didalam
kategori maka dimasukkan kedalam non-diagnostik yang masih membutuhkan evaluasi
lebih lanjut.
Kriteria
ventilasi/perfusi PIOPED II yang dimodifikasi;
1. High probability (V/Q)
Hanya
terdapat satu kriteria untuk high probability, yaitu dua atau lebih segmen
ventilasi/ perfusi yang mismatch.
2. Very low probability (V/Q)
Pada
kategori ini mempunyai nilai ramal positif kurang dari 10% untuk kemungkinan
adanya emboli paru.
III.
B. Penyakit paru obstruksi kronik (matched
defect)
Pada
penyakit paru obstruksi kronik gambaran sidik ventilasi dan perfusi umumnya menunjukkan
gambaran matched defect. Gambaran
tersubut menunjukkan kesesuaian defek pada ventilasi dan perfusi scan.
Gambar 7. Penyakit
paru obstruksi kronik. A. Sidik ventilasi dengan Xenon menunjukkan adanya delayed washout. B. Pencitraan perfusi
menunjukkan distribusi yang tidak merata (patchy
distribution) dan bukan defek segmental yang berbentuk baji
III.
C. Tuberkulosis (matched defect)
Gambar
8. Tuberkulosis. A. Sidik ventilasi dengan
Xenon menunjukkan daerah dengan aktivitas yang kurang pada right upper-lobe posterior segmen, B. Sidik
perfusi paru menunjukkan defek yang sama seperti pada sidik ventilasi (matched defect).
IV.
D. Astma
Simpulan
1. Sidik
ventilasi dan perfusi paru terutama digunakan
untuk mendiagnosa emboli paru.
2. Technegas
lebih superior dibandingkan agent
ventilasi yang lain, terutama pada pasien dengan penyakit paru
obstruktif. Technegas mengurangi masalah endapan di sentral saluran pernafasan
dan hot-spot di diperifer.
3. Defek
pada perfusi tidak spesifik, sehingga harus dilanjutkan dengan sidik ventilasi
untuk meningkatkan spesifitasnya.
4. Sidik ventilasi dan perfusi paru dapat pula digunakan untuk menilai
beberapa penyakit paru lainnya seperti; penyakit obstruksi kronik, asthma,
tuberkolosis dan lain-lain.
Daftar Pustaka
1. Freeman
LM, Krynyckyi B, Zuckier LS. Enhanced lung scan diagnosis of pulmonary embolism with the use of ancillary
scintigraphic findings and clinical correlation. Semin Nucl Med.
2001;31:143–157.
2. Carvalho
P, Lavender JP. The incidence and etiology of the ventilation/perfusion reverse
mismatch defect. Clin Nucl Med. 1989;14:571–576.
3. J¨ogi
J, Palmer J, Jonson B, Bajc M. Heart failure diagnostics based on
ventilation/perfusion single photon emission computed tomography pattern and
quantitative perfusion gradients. Nucl Med Commun. 2008;29:666–673.
4. Sostman
HD, Gottschalk A. The stripe sign: a new sign for diagnosis of nonembolic
defects on pulmonary perfusion scintigraphy. Radiology. 1982;142:737–741.
5. Yokoe K, Satoh K, Yamamoto Y, et al.
Usefulness of 99mTc-Technegas and 133Xe dynamic SPECT in ventilatory
impairment. Nucl Med Commun. 2006;27:887–892.
6. Bajc
M, Neilly JB, Miniati M, Schuemichen C, Meignan M, Jonson B. EANM guidelines
for ventilation/perfusion scintigraphy: Part 2. Algorithms and clinical
considerations for diagnosis of pulmonary emboli with V/P(SPECT) and MDCT. Eur
J Nucl Med Mol Imaging. 2009;36:1528–1538.
7. L.
L. Heck and J. W. Duley. Statistical considerations in lung imaging with 99mTc albumin
particles. Radiology, vol. 113, no. 3, pp. 675–679, 1974.
8. Anthony
PJ, Edward CR. Society of Nuclear Medicine Procedure Guideline for Lung
Scintigraphy. 2004.
9. James
H. Thrall. Pulmonary Embolism Ventilation Perfusion Scintigraphy, Nuclear
Medicine The Requisites in Radiology. 2006.
10. Bajc M, Olsson B, Palmer J, Jonson B.
Ventilation/perfusion SPECT for diagnostics of pulmonary embolism in clinical
practice. J Intern Med. 2008;264: 379–387.
11. Cook G, Clarke SE. An evaluation of Technegas
as a ventilation agent compared with krypton-81 m in the scintigraphic
diagnosis of pulmonary embolism. Eur J Nucl Med. 1992;19:770–774.
12. James JM, Lloyd JJ, Leahy BC, et al.
99Tcm-Technegas and krypton-81m ventilation scintigraphy: a comparison in known
respiratory disease. Br J Radiol. 1992;65:1075–1082.
13. Inoue T, Watanabe N, Oriuchi N et al. Clinical
evaluation of lung scintigraphy with 99mTc-technegas. Nippon Igaku Hoshasen
Gakkai Zasshi, vol. 50, no. 12, pp. 1590–1600, 1990.
14. Cook G. Clarke S. E. M. An evaluation of
Technegas as a ventilation agent compared with krypton-81m in the scintigraphic
diagnosis of pulmonary embolism.
European Journal of Nuclear Medicine, vol. 19, no. 9, pp. 770–774, 1992.
15. Hartmann I. J. S, Hagen P. J, Stokkel,O. P. M.
M. Hoekstra S, Prins M.H, Technegas Versus 81mKr Ventilation–Perfusion
Scintigraphy: A Comparative Study in Patients with Suspected Acute Pulmonary
Embolism. Journal of Nuclear Medicine, vol. 42, no. 3, pp. 393–400, 2001.
16. Magnant J, Vecellio L, Monte M, et al.
Comparative analysis of different scintigraphic approaches to assess pulmonary
ventilation. Journal of Aerosol Medicine, vol. 19, no. 2, pp.148–159, 2006.
17. Peltier P, De Faucal P, Chetanneau A, and Chatal J. F. Comparison of technetium-99m
aerosol and krypton-81m in ventilation studies for the diagnosis of pulmonary
embolism. Nuclear Medicine Communications, vol. 11, no. 9, pp. 631–638, 1990.
18. J. J¨ogi, B. Jonson, M. Ekberg, and M. Bajc.
Ventilationperfusion SPECT with 99mTc-DTPA versus Technegas: a head-to-head
study in obstructive and nonobstructive disease. Journal of Nuclear Medicine,
vol. 51, no. 5, pp. 735–741. 2010.
19. Ieneke J.C. Hartmann, Petronella J. Hagen.
Technegas Versus 81mKr Ventilation-Perfusion Scintigraphy: A Comparative
Studyin Patients with Suspected Acute Pulmonary Embolism. J Nucl Med.
2001;42:393-400.
20. Fred A, Milton J. Respiration system.
Essentials of Nuclear Medicine Imaging. 6th Edition. 2012.
21. Atkins H.L, Susskind H, Klopper J.F, Ansari
A.N, Richards P. Clinical Comparison of Xe-127 and Xe-133 for Ventilation
Studies. J Nucl Med. 1977;18:653-659.
22. Beadsmoore C, Cheow H. K, Szczepura K,
Ruparelia P, and Peters A.M. Healthy passive cigarette smokers have increased
pulmonary alveolar permeability. Nuclear Medicine Communications, vol. 28, no.
2, pp. 75–77, 2007.
23. Rinderknecht J, Shapiro L, and Krauthammer M.
Accelerated clearance of small solutes from the lungs in interstitial lung
disease. American Review of Respiratory Disease, vol. 121, no. 1, pp. 105–117,
1980.
24. Yeates D.B, Mortensen J, Eds. Textbook of
Respiratory Medicine, vol. 1, WB Saunders, Philadelphia, Pa, USA, 3rd edition,
2000.
25. Bajc M, Jonson B. Ventilation/Perfusion SPECT
for Diagnosis of Pulmonary Embolism and Other Diseases. Journal of Molecular
Imaging. 2011.
26. Gottschalk A, Paul D, Stein H, Sostman D,
Matta F, and Beemath A. W. M. Burch P. J. Sullivan F. E. Lomas et al. Lung
ventilation studies with technetium-99m pseudogas. Very Low Probability
Interpretation of V/Q Lung Scans in Combination with Low Probability Objective
Clinical Assessment Reliably Excludes Pulmonary Embolism: Data from PIOPED II.
J Nucl Med 2007; 48:1411–1415.
No comments:
Post a Comment