Artikel populer

ARTIKEL UNGGULAN

UPTAKE TEST

Referat ke-1 (dr. Lisa H) Tiroid merupakan suatu kelenjar endokrin terbesar. Kelenjar tersebut memproduksi hormon tiroid yang selain berf...

Monday, November 27, 2017

Studi Perfusi dan Ventilasi



referat ke-2 (dr. Mutia Sari)
BAB I
Pendahuluan
            Sidik ventilasi perfusi  paru merupakan metode non-invasif utama yang digunakan untuk menegakkan diagnosa emboli paru. Sejak awal tahun 1980-an sidik ventilasi perfusi paru telah digunakan untuk menegakkan diagnosa emboli paru. Sejumlah penelitian menunjukkan keuntungan dari sidik ventilasi dan perfusi  paru, sehingga diindikasikan sebagai first line method untuk menegakkan diagnosa emboli paru. Satu hal yang sangat penting adalah untuk memperkirakan kemungkinan klinis suatu emboli paru sebelum pencitraan dilakukan.
            Sidik ventilasi dan perfusi paru  terutama digunakan untuk mendiagnosa emboli paru. Sidik ventilasi dan perfusi paru memungkinkan dilakukannya pencitraan  dari distribusi radiofarmaka  pada saat ventilasi dan perfusi dan juga penilaian dari fungsi regional dari paru yang sakit. Sidik  ventilasi dan perfusi paru  dapat juga digunakan untuk  menegakkan diagnosa beberapa penyakit lain seperti; pneumonia, gagal jantung, penyakit obstruksi paru hipertensi pulmonal dan lain-lain. Berdasarkan pedoman dari European Association of Nuclear Medicine bahwa sidik ventilasi dan perfusi  paru SPECT merupakan prosedur pencitraan terpilih  pada pasien yang secara klinis dicurigai emboli paru. Sidik ventilasi dan perfusi paru SPECT dapat dilakukan tanpa  kontraindikasi  dan  pemberian radiasi  dengan batasan yang  rendah.
BAB II
 Radiofarmaka pada sidik ventilasi dan perfusi paru
            Sidik ventilasi dan perfusi paru dapat dilakukan dengan sidik ventilasi, sidik perfusi atau dengan keduanya. Sidik ventilasi adalah suatu pencitraan yang dapat menggambarkan distribusi  radioaktivitas didalam saluran bronkus dan paru. Sedangkan Sidik perfusi paru  adalah suatu pencitraan yang dapat menggambarkan distribusi radioaktivitas di dalam aliran darah arterial pulmonari.
II.A.  Radiofarmaka pada sidik perfusi paru.
            Diameter dari sel darah merah  lebih kurang 8µm. Kapiler-kapiler pembuluh darah mempunyai ukuran yang sedikit lebih besar, yaitu berkisar antara 7-10µm dan prekapilari arteriol- arteriol bekisar 35µ. Suatu agent pencitraan perfusi harus memiliki ukuran yang lebih besar dari ukuran kapiler agar dapat terperangkap di kapiler bed. Jika ukuran partikel dari agent terlalu besar maka, distribusinya tidak dapat sepenuhnya menggambarkan perfusi. Hal ini dikarenakan sebahagian besar partikel tertanggap pada arteri central dari pada kapiler dan prekapiler.
            Beberapa agent  partikel yang berbeda telah digunakan bertahun-tahun dan yang pertama sekali di ujikan pada manusia adalah 131I yang dilabel dengan macroaggregated albumin. Pada perkembangan selanjutnya digunakan Technetium-99m yang dilabel dengan human albumin microspheres ( 99mTc-HAM ) dan penggunaannya dalam dunia klinis tidak berlangsung lama.
            99mTc- macroaggregated albumin (99mTc-MAA) adalah radiofarmaka yang banyak digunakan saat ini pada pencitraan perfusi paru. Waktu paroh biologis dari MAA didalam paru biasanya sekitar 4-6 jam. Dengan berjalannya waktu partikel dari MAA akan mengalami degradasi dan penghancuran melalui proses fagositosis di dalam system retikuloendotelial. Ukuran partikel dari macroaggregates of human albumin berkisar antara 15-100µm yang disuntikkan secara intravena. Hal ini mengakibatkan terbentuknya mikroembolisasi pada kapiler paru dan prekapiler arteriol, sehingga dapat merefleksikan gambaran perfusi regional di paru. Setelah penyuntikan 99mTc-MAA ke dalam vena perifer, partikel akan masuk melalui atrium kanan dan ventrikel kanan di mana pencampuran terjadi. Kemudian partikel tersebut  keluar atau terjebak saat  melalui paru. Di daerah-daerah mengalami penurunan atau tidak ada perfusi, partikel lebih sedikit yang dikirim dan terperangkap, sehingga menggambarkan daerah yang relatif photopenic atau "cold". Hal ini menghasilkan peta perfusi dari paru-paru.
            Jumlah dari partikel MAA yang digunakan merupakan hal yang sangat penting, Jika jumlah partikel yang digunakan terlalu kecil, pola distribusi pada kapiler bed akan tidak akurat. Disisi lain jika terlalu banyak jumlah partikel yang diberikan, secara tiroiritis dapat menghalangi hemodinamik dari sirkulasi paru. Jumlah minimum partikel yang diberikan pada orang dewasa adalah 200.000-500.000 partikel.
            Pada kondisi-kondisi tertentu seperti; hipertensi pulmonal, kehamilan dan pirau jantung kanan ke kiri dan anak-anak,  jumlah partikel yang diberikan harus dikurangi. Pada pasien dengan pirau jantung kanan ke kiri, 99mTc-MAA dapat ditemukan  pada ginjal, otak dan struktur yang lain namun hal ini tidak menjadi kontraindikasi pada pelaksanaan sidik perfusi paru.
            Ketika emboli paru secara klinis dicurigai pada pasien yang dalam kondisi hamil, pemeriksaan sidik ventilasi dan perfusi paru  menawarkan kemampuan untuk mendiagnosa emboli dengan radiasi  yang relatif  rendah pada janin. Jumlah radiasi yang digunakan haruslah minimum dengan cara mengurangi jumlah 99mTc-MAA yang digunakan dengan pertimbangan  bahwa dosis yang diberikan harus mengandung minimal 100.000 partikel.
            Sebelum penyuntikan radiofarmaka 99mTc-MAA, pasien disarankan untuk batuk dan mengambil nafas panjang. Dikarenakan campuran partikel 99mTc-MAA cenderung cepat menggumpal, maka sebelum pemberian dilakukan pengocokan terlebih dahulu dan ukuran jarum suntik yang digunakan harus besar untuk mencegah fragmentasi selama pemberian. Penyuntikan radiofarmaka dilakukan dalam posisi berbaring untuk meminimalkan gradient gravitasi dari puncak ke dasar dan perhatian kusus harus dilakukan agar tidak  melakukan aspirasi jarum pada saat penyuntikan,  karena jika hal ini dilakukan dapat menimbulkan gumpalan didalam suntikan dan memberikan gambaran hot emboli pada paru-paru. Pada pasien dengan kasus orthopnea, mendekati posisi berbaring masih dimungkinkan.
            Pada pencitraan sidik ventilasi dan perfusi yang dilakukan dalam satu hari bersamaan. Pemeriksaan ventilasi dilakukan terlebih dahulu. Setelah ventilasi SPECT  dilakukan pencitraan perfusi baru dilakukan.
II. B. Radiofarmaka pada sidik ventilasi
II. B. I. 99mTc-Carbon (Technegas)
            Technegas adalah suatu aerosol dari partikel karbon yang sangat kecil. Berukurang 0.005-0,2 mikron yang dihasilkan dengan cara pemanasan dengan suhu tinggi.  Ukuran partikelnya sangat kecil, hal ini mengindikasikan bahwa terdapat distribusi yang rata pada paru yang hampir menyerupai gas dan deposit di alveoli  dengan cara difusi. Beberapa peneliti telah mempelajari kualitas gambar dan kuantitas pengendapan technegas  dibandingkan dengan berbagai gas seperti 133Xe dan 81mKr. Pada beberapa studi menunjukkan bahwa technegas memberikan pencitraan yang setara dengan 81mKr. Beberapa peneliti lain menemukan perbedaan dan  lainnya menemukan technegas lebih unggul dari aerosol.
            Jonas Jogi dkk, membandingkan ventilasi dengan menggunakan 99mTc-DTPA dan technegas pada kelompok pasien dengan penyakit paru obstruksi kronik (PPOK) dan penyakit paru non-obstruksi. Hasilnya Technegas lebih superior dari radioaerosol terutama pada pasien dengan penyakit paru obstruktif. Technegas mengurangi masalah endapan di sentral saluran pernafasan dan hot-spot di diperifer. Ketidakrataan dari endapat radiotracer dan derajat dari endapaan disentral lebih sedikit jika menggunakan technegas, terutama pada pasien dengan obstruktif paru. Keuntungan lain menggunakan tekhnegas adalah pada pasien dengan pernafasan yang kurang, cukup untuk mencapai jumlah aktivitas yang memadai di paru.
Ieneke J.C dkk, membandingkan kinerja sidik ventilasi paru  menggunakan technegas dan 81mKr pada pasien yang secara klinis dicurigai emboli paru.  Hasilnya; kesesuaian hasil antara 81mKr dan technegas  adalah 95%. 15 dari 92  pasien (16%) ketidaksesuaian ditemukan antara technegas  dan  81mKr. Hasil positif palsu ditemukan pada 4 dari 12 pasien dengan 81mK (33%) dibandingkan  dengan 2 dari 3 pasien (66%) dengan technegas.
II. B. II. 133Xenon.
            133Xe sangat sensitif untuk mendeteksi COPD, mempunyai waktu paruh 5.27 hari. Terdapat beberapa kelemahan dari 133Xe, diantaranya 133Xe mempunyai puncak energi sebesar 81keV sehingga tidak optimal untuk pencitraan dengan menggunakan kamera gamma dan memberikan hasil citra dengan resolusi yang rendah. Namun terdapat pula keuntungan lainnya seperti;  pencitraan dapat diperoleh mulai dari fase initial sampai dengan fase washout sehingga memberikan gambaran yang lebih lengkap dari ventilasi dan lebih sensitif  pada penyakit paru obstruksi.  133Xe merupakan gas berat, yang jika lolos ke ruangan akan menetap dilantai. Sehingga ruangan wajib memiliki aliran udara yang baik, ventilasi external yang aman dan harus bertekanan negatif
Pencitraan dengan menggunakan 133Xe dilakukan dalam tiga fase;
1.      Initial single breath hold.
            Fase awal pada saat 133Xe dihirup kedalam paru.
2.      Equilibrium
Pada fase ini 133Xe yang masuk kedalam paru melewati alveolar-kapiler dan didistribusikan keseluruh tubuh.
3.      Washout
Idealnya pencitraan ventilasi paru dilakukan setelah pencitraan perfusi paru, namun kerena 133Xe mempunya puncak energi yang rendah, maka pencitraan sidik ventilasi paru dilakukan sebelum pencitraan perfusi. Jika dilakukan setelah sidik perfusi (99mTc-MAA) dapat menyabakan scatter sehingga menurunkan kualitas citra dari 133Xe yang pada akhirnyanya dapat mempersulit interpretasi. 133Xe dapat larut dalam lemak , sehingga  133Xe dapat menumpuk dan disimpan di dalam hepar pada pasien dengan fatty liver.
Dikarenakan ventilasi harus dioptimalkan, maka pada pasien dengan bronkospasme harus diberikan terapi bronkodilatasi sebelum pemberian 133Xe dilakukan dan pada pasien- pasien yang dengan takipnou, pasien yang tidak koperatif atau yang tidak responsif diperlukan modifikasi protokol.

                II. B. III.  127Xenon
        Keuntungan utama dari 127Xe adalah puncak energi yang lebih tinggi dari  172 keV. Energi ini lebih tinggi  dibandingkan dengan 99mTc- MAA pada sidik perfusi, sehingga ventilasi scan dapat dilakukan setelah perfusi scan dan pencitraan dapat dioptimalkan. Namun, waktu paroh fisik yang panjang, yaitu 36,4 hari.
            H.L. Atkins dkk, membandingkan ventilasi scan antara 127Xe dan 133Xe yang dilakukan pada 19 pasien  dengan berbagai masalah paru. Hasilnya; hasil citra 127Xe lebih disukai dari pada 133Xe karena rata-rata cacahan yang tinggi, dosis radiasi yang rendah untuk pasien, perbaikan kualitas citra dapat diperoleh dengan 127Xe dan apa bila pemeriksaan perfusi dengan menggunakan Tc-99m sebelumnya, hal ini tidak mempengaruhi kualitas dari citra ventilasi jika menggunakan 127Xe.
            II. B. IV.  99mTc-DTPA
            99mTc yang dilabel dengan diethylenetriaminepentaacetic acit  umum digunakan untuk sidik ventilasi. Pada orang yang sehat, bersihan dari 99mTc-DTPA dapat tejadi sekitar 70 menit. Peningkatan bersihan 99mTc-DTPA dapat menyebabkan  pemendekan dari waktu paroh. Hal ini dapat ditemukan pada beberapa peradangan alveolar seperti alveolitis yang disebabkan proses alergi atau toksik dan dapat pula pada peroko.
            Pada pemeriksaan ventilasi dengan menggunakan radioaerosol 99mTc-DTPA, radiofarmaka ditempatkan didalam nebulizer kusus dan pasien diminta bernapas melalui sistem  mouthpiece sampai radioaerosol cukup dikirim ke paru-paru. Hal ini memerlukan waktu beberapa menit. Selama pemeriksaan ini, pasien dalam posisi terlentang dengan tujuan untuk menurunkan gradien dari apeks ke basal. Jika pasien diletakkan pada posisi tegak atau duduk akan menyebakan peningkatan deteksi defek pada basal. Walaupun radiofarmaka yang diberikan di dalam nebulizer dalam jumlah besar yaitu 25–35 mCi, hanya 0.5-1mCi yang sampai ke paru-paru pasien dan pencitraan dapat dilakukan pada 1-2 menit kemudian.
            Karena pencitraan ventilasi dan perfusi menggunkan radiofarmakan yang sama-sama dilabel dengan 99mTc, maka sangat penting bahwa laju pencacahan (count) dari pencitraan kedua harus tiga sampai empat kali dari pencitraan pertama. Pencitraan ventilasi dengan menggunakan aerosol (99mTc-DTPA) biasanya dilakukan sebelum pencitraan perfusi dengan menggunakan 99mTc-MAA. Hal ini dikarenakan lebih sulit untuk memberikan dosis yang lebih besar 99mTc aerosol dibandingkan memberikan dosis yang lebih besar 99mTc macroaggregated albumin (MAA).
            II. B. V. Krypton- 81m (81mKr)
            Krypton-81m (81mKr) telah dianjurkan untuk digunakan pada pencitraan ventilasi. 81mKr mempunyai waktu paruh 13 detik dengan puncak energy  antara 176 dan 192 keV. Berasal dari generator, rubidium-81 (81Rb) isotope induk yang mempunyai waktu paroh pendek 4.6 jam, sehingga walaupun tersedia namun tidak mudah dalam penggunaannya. Karena 81mKr mempunyai puncak energi lebih tinggi dari 99m Tc-MAA, maka pencitraa ventilasi dengan menggunakan 81mKr dilakukan sebelum pencitraan perfusi dan waktu paroh 81mKr yang pendek memungkinkan dilakukan pencitraan dengan cepat. Sebagai tambahan, 81mKr mahal, ketersediaannya terbatas dan jarang digunakan dalam praktik.
BAB III
Sidik Ventilation–Perfusion Paru Pada Berbagai Kelainan Paru
III. A. Emboli paru ( mismatched defect)
            Diagnosa emboli paru  dengan menggunakan pencitraan ventilasi dan perfusi  didasari pada ketidaksesuaian antara ventilasi dan perfusi sebagai hasil dari obstruksi  aliran darah arteri yang disebabkan oleh emboli pada segmental paru. Dengan pencitraan 99m Tc-MAA, partikel MAA yang  tidak dapat masuk ke dalam kapiler bed bagian distal menyebabkan penyumbatan dan digambarkan sebagai defek pada perfusi. Karena ventilasi pada umumnya tidak dipengaruhi oleh adanya emboli, pencitraan dengan Xenon dan aerosol biasanya tetap normal.
            Sebahagian besar manifestasi dari emboli paru  adalah defek berbentuk baji (wedge- shaped)  pada perfusi  dengan ventilasi yang normal ( mismatch).
            Walaupun prinsip ini terlihat mudah, namun dalam prakteknya begitu banyak kesulitan yang dihadapi oleh dokter kedokteran nuklir. Untuk alasan ini, telah banyak definisi yang digunakan untuk menggambarkan hasil pencitraan ventilasi/ perfusi sebagai suatu kriteria yang digunakan untuk menyimpulkan diagnosa.
III. A. I. Prinsip dasar dari PIOPED
1.      Perfusi paru normal.
Normal sidik perfusi  ditunjukkan dengan adanya kesan dari hilus dan aorta. Gambaran perfusi paru yang normal pada dasarnya dapat menepis adanya emboli paru secara klinis dan hasil sidik ventilasi dapat diabaikan.
1.      Defek pada perfusi.
Defek pada perfusi digambarkan sebagai suatu fokus yang tanpa atau aktivitas yang kurang pada pencitraan perfusi. Defek pada perfusi tidak spesifik dan dapat disebabkan oleh;
-          Emboli paru
-          Bula atau kista
-          Efusi pleura
-          Atelektasis
-          Vasculitis
-          Fibrosis
-          Edema paru
-          Pneumonia
-          Hilar adenopati (limfoma, sarcoidosis)
-          Pneumonectomy
-          Tumor atau metastasis
-          Hipoxia yang terlokalisasi yang dapat disebabkan oleh asma, bronchitis dan emfisema.

           3. Klasifikasi Defek perfusi
                        3.a. Segmental
            Defek perfusi dapat melibatkan semua atau sebagian dari segmen paru. Defek perfusi pada defek segmental sesuai dengan segmen anatomi paru dan pada umumnya wedged shape  dan berbasis di pleural. Defek pada segmen digolongkan berdasarkan ukuran defek. Dinyatakan sebagai large segmental defect jika 75% atau lebih segmen yang yang terlibat,  moderate segmental defetc jika 25-75% segmen yang terlibat dan small segmental defect  jika kurang dari 25% segmen yang terlibat. Semakin besar ukuran defek dan jumlah segmen yang terkena, kemungkinan dari emboli paru  semakin meningkat.
                        3.b Non- segmental
            Defek pefusi pada defek non-segmental tidak sesuai dengan segmen anatomi paru, pada umumnya tidak berbentuk wedged shape  dan dapat atau tidak dapat berbasis di pleural. Hal ini dapat disebabkan oleh kelainan non-pulmonary termasuk struktur hilar, perubahan pada bentuk dan posisi diafragma, jantung atau varian normal atau patologis dari struktur mediastinal. Selaian kelainan non- pulmonary, kelainan paru primer dapat juga menjadi penyebab defek non-segmental seperti; neoplasma, bulla, pneumonia, hemorrhgy, edema atau infiltrate. Defek non- segmental  tidak dapat dihubungkan dengan emboli paru.
            Sejumlah kriteria telah digunakan sebagai alat investigasi  untuk menegakkan diagnosa emboli paru. PIOPED (prospective investigation of pulmonary embolism) dan PIOPED II adalah studi multi- institusional yang melibatkan banyak bagian dan dirancang  untuk mengevaluasi efektivitas dari berbagai cara untuk mendiagnosis emboli paru akut. Lebih kusus lagi tujuan dari PIOPED adalah untuk menentukan sensitivitas dan spesifitas V/Q pada pencitraan paru dengan menggunakan satu  set kriteria khusus untuk memperoleh probabilitas  atau rasio kemungkinan  untuk kemungkinan adanya tromboemboli. Kriteria PIOPED telah disempurnakan dengan penyesuaian dan penyederhanaan dari kriteria aslinya, sehingga yang umum digunakan saat ini adalah kriteria PIOPED II modified.
            Kriteria PIOPED II yang sudah dimodifikasi adalah kriteria yang paling umum digunakan di Amerika. Terdapat dua versi kriteria PIOPED yang dimodifikasi;
1.         PIOPED II yang dimodifikasi yang menggunakan sidik ventilasi dan perfusi dan pemeriksaan radiologi foto thorak.
2.         PIOPED II yang hanya menggunakan sidik perfusi saja dan pemeriksaan radiologi foto thorak.
            PIOPED I dikatogorikan menjadi high, moderate (intermediate) dan low probability emboli paru dan sebagai tambahannya non-dignostic untuk keadaan lain selain emboli paru. Namun kriteria high, moderate dan low probability untuk emboli paru telah diganti dengan kategori high (PE-present) dan very low (PE-absent).
            Kriteria PIOPED II yang telah dimodifikasi diklasifikasikan menjadi high probability untuk emboli paru dengan nilai ramal positif sebesar 85%, very low probability dengan nilai ramal positif kurang dari 10%,  normal scan dan semua hasil sidik ventilasi dan perfusi scan yang tidak termasuk didalam kategori maka dimasukkan kedalam non-diagnostik yang masih membutuhkan evaluasi lebih lanjut.
Kriteria ventilasi/perfusi PIOPED II yang dimodifikasi;
1.         High probability (V/Q)
Hanya terdapat satu kriteria untuk high probability, yaitu dua atau lebih segmen ventilasi/ perfusi yang mismatch.
2.         Very low probability (V/Q)
Pada kategori ini mempunyai nilai ramal positif kurang dari 10% untuk kemungkinan adanya emboli paru.
            III. B. Penyakit paru obstruksi kronik (matched defect)
            Pada penyakit paru obstruksi kronik gambaran sidik ventilasi dan perfusi umumnya menunjukkan gambaran matched defect. Gambaran tersubut menunjukkan kesesuaian defek pada ventilasi dan perfusi scan.
Gambar 7. Penyakit paru obstruksi kronik. A. Sidik ventilasi dengan Xenon menunjukkan adanya delayed washout. B. Pencitraan perfusi menunjukkan distribusi yang tidak merata (patchy distribution) dan bukan defek segmental yang berbentuk baji
           III. C. Tuberkulosis (matched defect)   
Gambar 8. Tuberkulosis.  A. Sidik ventilasi dengan Xenon menunjukkan daerah dengan aktivitas yang kurang pada right upper-lobe posterior segmen, B. Sidik perfusi paru menunjukkan defek yang sama seperti pada sidik ventilasi (matched defect).
            IV. D. Astma
Simpulan
1.     Sidik ventilasi dan perfusi paru  terutama digunakan untuk mendiagnosa emboli paru.
2.     Technegas lebih superior dibandingkan agent  ventilasi yang lain, terutama pada pasien dengan penyakit paru obstruktif. Technegas mengurangi masalah endapan di sentral saluran pernafasan dan hot-spot di diperifer.
3.     Defek pada perfusi tidak spesifik, sehingga harus dilanjutkan dengan sidik ventilasi untuk meningkatkan spesifitasnya.
4.     Sidik  ventilasi dan perfusi paru  dapat pula digunakan untuk  menilai  beberapa penyakit paru lainnya seperti; penyakit obstruksi kronik, asthma, tuberkolosis dan lain-lain.         
Daftar Pustaka
1.      Freeman LM, Krynyckyi B, Zuckier LS. Enhanced lung scan diagnosis of  pulmonary embolism with the use of ancillary scintigraphic findings and clinical correlation. Semin Nucl Med. 2001;31:143–157.
2.      Carvalho P, Lavender JP. The incidence and etiology of the ventilation/perfusion reverse mismatch defect. Clin Nucl Med. 1989;14:571–576.
3.      J¨ogi J, Palmer J, Jonson B, Bajc M. Heart failure diagnostics based on ventilation/perfusion single photon emission computed tomography pattern and quantitative perfusion gradients. Nucl Med Commun. 2008;29:666–673.
4.      Sostman HD, Gottschalk A. The stripe sign: a new sign for diagnosis of nonembolic defects on pulmonary perfusion scintigraphy. Radiology. 1982;142:737–741.
5.       Yokoe K, Satoh K, Yamamoto Y, et al. Usefulness of 99mTc-Technegas and 133Xe dynamic SPECT in ventilatory impairment. Nucl Med Commun. 2006;27:887–892.
6.      Bajc M, Neilly JB, Miniati M, Schuemichen C, Meignan M, Jonson B. EANM guidelines for ventilation/perfusion scintigraphy: Part 2. Algorithms and clinical considerations for diagnosis of pulmonary emboli with V/P(SPECT) and MDCT. Eur J Nucl Med Mol Imaging. 2009;36:1528–1538.
7.      L. L. Heck and J. W. Duley. Statistical considerations in lung imaging with 99mTc albumin particles. Radiology, vol. 113, no. 3, pp. 675–679, 1974.
8.      Anthony PJ, Edward CR. Society of Nuclear Medicine Procedure Guideline for Lung Scintigraphy. 2004.
9.      James H. Thrall. Pulmonary Embolism Ventilation Perfusion Scintigraphy, Nuclear Medicine The Requisites in Radiology. 2006.
10.   Bajc M, Olsson B, Palmer J, Jonson B. Ventilation/perfusion SPECT for diagnostics of pulmonary embolism in clinical practice. J Intern Med. 2008;264: 379–387.
11.   Cook G, Clarke SE. An evaluation of Technegas as a ventilation agent compared with krypton-81 m in the scintigraphic diagnosis of pulmonary embolism. Eur J Nucl Med. 1992;19:770–774.
12.   James JM, Lloyd JJ, Leahy BC, et al. 99Tcm-Technegas and krypton-81m ventilation scintigraphy: a comparison in known respiratory disease. Br J Radiol. 1992;65:1075–1082.
13.   Inoue T, Watanabe N, Oriuchi N et al. Clinical evaluation of lung scintigraphy with 99mTc-technegas. Nippon Igaku Hoshasen Gakkai Zasshi, vol. 50, no. 12, pp. 1590–1600, 1990.
14.   Cook G. Clarke S. E. M. An evaluation of Technegas as a ventilation agent compared with krypton-81m in the scintigraphic diagnosis of pulmonary embolism.  European Journal of Nuclear Medicine, vol. 19, no. 9, pp. 770–774, 1992.
15.   Hartmann I. J. S, Hagen P. J, Stokkel,O. P. M. M. Hoekstra S, Prins M.H, Technegas Versus 81mKr Ventilation–Perfusion Scintigraphy: A Comparative Study in Patients with Suspected Acute Pulmonary Embolism. Journal of Nuclear Medicine, vol. 42, no. 3, pp. 393–400, 2001.
16.   Magnant J, Vecellio L, Monte M, et al. Comparative analysis of different scintigraphic approaches to assess pulmonary ventilation. Journal of Aerosol Medicine, vol. 19, no. 2, pp.148–159, 2006.
17.   Peltier P, De Faucal P, Chetanneau A, and  Chatal J. F. Comparison of technetium-99m aerosol and krypton-81m in ventilation studies for the diagnosis of pulmonary embolism. Nuclear Medicine Communications, vol. 11, no. 9, pp. 631–638, 1990.
18.   J. J¨ogi, B. Jonson, M. Ekberg, and M. Bajc. Ventilationperfusion SPECT with 99mTc-DTPA versus Technegas: a head-to-head study in obstructive and nonobstructive disease. Journal of Nuclear Medicine, vol. 51, no. 5, pp. 735–741. 2010.
19.   Ieneke J.C. Hartmann, Petronella J. Hagen. Technegas Versus 81mKr Ventilation-Perfusion Scintigraphy: A Comparative Studyin Patients with Suspected Acute Pulmonary Embolism. J Nucl Med. 2001;42:393-400.
20.   Fred A, Milton J. Respiration system. Essentials of Nuclear Medicine Imaging. 6th Edition. 2012.
21.   Atkins H.L, Susskind H, Klopper J.F, Ansari A.N, Richards P. Clinical Comparison of Xe-127 and Xe-133 for Ventilation Studies. J Nucl Med. 1977;18:653-659.
22.   Beadsmoore C, Cheow H. K, Szczepura K, Ruparelia P, and Peters A.M. Healthy passive cigarette smokers have increased pulmonary alveolar permeability. Nuclear Medicine Communications, vol. 28, no. 2, pp. 75–77, 2007.
23.   Rinderknecht J, Shapiro L, and Krauthammer M. Accelerated clearance of small solutes from the lungs in interstitial lung disease. American Review of Respiratory Disease, vol. 121, no. 1, pp. 105–117, 1980.
24.   Yeates D.B, Mortensen J, Eds. Textbook of Respiratory Medicine, vol. 1, WB Saunders, Philadelphia, Pa, USA, 3rd edition, 2000.
25.   Bajc M, Jonson B. Ventilation/Perfusion SPECT for Diagnosis of Pulmonary Embolism and Other Diseases. Journal of Molecular Imaging. 2011.
26.   Gottschalk A, Paul D, Stein H, Sostman D, Matta F, and Beemath A. W. M. Burch P. J. Sullivan F. E. Lomas et al. Lung ventilation studies with technetium-99m pseudogas. Very Low Probability Interpretation of V/Q Lung Scans in Combination with Low Probability Objective Clinical Assessment Reliably Excludes Pulmonary Embolism: Data from PIOPED II. J Nucl Med 2007; 48:1411–1415.


No comments:

Post a Comment